Rabu, 20 April 2011

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat! (Menarik Untuk dibaca)

Oleh Yudhistira ANM Massardi

Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai-katakanlah hingga dua dekade ke depan-yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.

Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Dalam ”kalimat lain”, ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya.

Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi? Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang.

Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot. Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.

Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah- yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi-kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.

Kreativitas dan imajinasi

Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!

Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk ”jadi pegawai”, yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran. Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) ”bertaraf internasional” yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional.

Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini. Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian.

Kata kuncinya adalah ”kreativitas” dan ”imajinasi”; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun! Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital.

Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah. Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat ”cinta belajar” pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas ”cinta belajar”, apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.

Membangun semangat ”cinta belajar” tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam.

Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan. Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.

Yudhistira ANM Massardi Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi

Sumber: KOMPAS edisi Jumat, 8 April 2011a

Selasa, 05 April 2011

Mengantar Mas Ahmad Tirtosudiro (1922-2011): Kader Teladan Lintas Generasi

Oleh. Eko Arisandi[*]

“Adik-adik warga HMI yang saya cintai! Marilah kita menjadi muslim/muslimah yang baik, yang sejati, agar dengan demikian kita dapat menjadi warganegara yang baik dan diandalkan, penghayat dan pengamal Pancasila yang murni pula, satu dalam kata dan perbuatan.”

Kata-kata tersebut adalah pesan bagi kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari pidato Mas Achmad Tirtosudiro atas nama alumni HMI yang disampaikan dalam Dies Natalis HMI ke-40, 5 Februari 1987, di Jakarta. Pendiri dan kader terbaik HMI ini tutup usia pada Rabu, 9 Maret 2011, dalam usia 89 tahun. Secara berantai berita duka ini dikabarkan kader-kader HMI ke seluruh Indonesia. Bangsa ini kembali kehilangan putra terbaiknya. Beliau dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan iringan doa dari seluruh generasi kader HMI dan KAHMI se-Nusantara. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap konsisten dalam berpikir, bertindak, dan bersikap, seperti diungkapkan Mar’ie Muhammad (Sekeretaris Jendral PB HMI Periode 1963-1966), “Mas Achmad, adalah muslim yang baik, yang tidak perlu dipertentangkan dengan warganegara yang baik, karena keduanya dapat disatukan dalam diri beliau.”

Sang Kader Prajurit HMI

MAS Achmad Tirto kerap disapa Mas Achmad oleh semua generasi adik-adiknya di HMI. Sapaan itu menyatakan keakraban dan sikap hormat yang tulus dan mendalam dari kami semua, kader-kader HMI kepada beliau. Generasi kami adalah mahasiswa pada sekitar 2005 dan sesudahnya, sehingga dapat dipastikan sangat sedikit dari kami yang dapat bersentuhan langsung dengan beliau, termasuk hanya untuk dapat berjumpa dengan beliau. Alhasil, interaksi yang lebih memungkinkan adalah melalui membaca buku sejarah HMI. Meskipun terdapat jarak generasi yang cukup jauh dengan beliau, seluruh kader HMI terhitung sebagai adik ideologis Mas Achmad dalam geneaologi perkaderan yang tak berjarak sama sekali.

Perkenalan para kader HMI dengan Mas Achamd rata-rata ketika mereka mengikuti Latihan Kader 1 (LK 1, Basic Training HMI). Begitu seorang mahasiswa masuk HMI, maka salah satu materi pertama yang ia peroleh adalah sejarah lahirnya organisasi kemahasiswaan Indonesia terbesar ini; di ibu kota revolusi Yogyakarta pada 5 Februari1947. Di situ nama Mas Achmad pasti disebutkan selain nama-nama lain seperti HMS Mintareja, Lafran Pane, M Sanusi, Suastuti Notoyudo, Anton Timur Jaelani, dan lain-lain. Ini merupakan para pengurus PB HMI hasil keputusan Kongres I HMI 30 November 1947 dan Mas Achmad menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PB HMI.

Menyebutnya sebagai pendiri HMI sangat beralasan, (tanpa bermaksud lebih jauh membahas masalah ini) meskipun Sejarawan HMI Agussalim Sitompul membuat klasifikasi para pendiri dan perintis HMI. Kelompok pemrakarsa, yakni Lafran Pane; kelompok pendiri yang terdiri dari 15 orang; kelompok pengurus I yang disahkan pada 5 Februari 1947; dan kelompok penerus hasil kepurusan Kongres I. klasifikasi ini memasukkan nama Achmad Tirtosudiro ke dalam kelompok “penerus”. Namun, seperti diungkapkan Bang Agus sendiri, Mas Achmad sangat dikenal secara luas di kalangan HMI fase awal, terlebih karena peranannya yang sangat besar pada saat menjabat Wakil Ketua Umum PB HMI, dan secara otomatis menjadi orang nomor satu (sebagai Pejabat Ketua Umum PB HMI Periode 1948), karena MS Mintareja selaku Ketua Umum PB HMI pindah meninggalkan Yogyakarta menuju Pasundan pada saat perang kemerdekaan.

Keterlibatan Mintareja dan kawan-kawan membuat HMI mulai “merajalela” di kampus Gama dan STI. Banyak anggota Perhimpunan Mahasiswa Yogya (PMY)—pada awalnya adalah organisasi mahasiswa yang memandang negatif dan tidak setuju dengan pembentukan HMI—bergabung dengan HMI; tidak sedikit pula anggota PMY yang merangkap menjadi anggota HMI. Berangsur-angsur HMI pun mulai memegang posisi memimpin dunia kemahasiswaan, khususnya di Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Dari situ, eksistensi HMI di persada Tanah Air menyejarah. Dahlan Ranuwihardjo (Ketua Umum PB HMI Periode 1951-1953) menyebut fase ini sebagai sejarah HMI dalam “eksistensinya yang riil” dalam realitas sejarah bangsa.

Karena telah membawakan eksistensi riil yang cukup signifikan dalam sejarah bangsa, maka Mintareja dan kawan-kawan (termasuk Achmad Tirtosudiro di dalamnya) termasuk para pendiri HMI. Mas Achmad juga orang pertama dari kalangan perintis himpunan ini, yang membawa mereka “keluar” dari lingkungan kemahasiswaan masuk kepada aktivitas lain yang lebih luas dan beruang lingkup nasional yaitu PPMI. Bahkan Mas Achamad pula yang memimpin PPMI dan bertindak sebagai ketuanya.

Untuk melawan agresi militer yang dilancarkan Belanda pada 21 Juli 1947, dibentuklah Compie Mahasiswa (CM) yang berada langsung di bawah komando Markas Besar Tentara (MBT), dan Mas Achamd sebagai wakil komandannya; di sinilah karir militernya ia rintis. Menghadapi pemberontakan PKI 18 September 1948 di Madiun, Achmad Tirtosudiro menggalang kekuatan mahasiswa dengan membentuk Corps Mahasiswa (CM) selaku wakil komandan merangkap Ketua PPMI. CM dikerahkan untuk terjun langsung di medan pertempuran sebagai pasukan dan memanggul senjata, membantu pemerintah dalam menghadapi penjajah dan menumpas pemberontakan PKI.

Menjelang meletusnya G30S/PKI adalah saat-saat ekstrasulit bagi para aktivis HMI karena HMI menjadi sasaran tembak pengganyangan oleh PKI yang bermaksud membubarkan HMI. Pada saat inilah, Mas Achmad hadir kembali dalam HMI sebagai pembimbing, Pembina, dan pelindung. Berkat beliau, HMI memiliki kepercayaan diri sendiri dan rasa aman yang amat diperlukan dalam situasi yang berbahaya dan sulit diramalkan. Selaku Dewan Pertimbangan dan Penasehat PB HMI (1963-1966), seperti dikemukakan Sulastomo (Ketua Umum PB HMI Periode 1963-1966), Mas Achmad secara efektif berperan dalam “menyelamatkan HMI” di belakang layar dari “lubang jarum” pengganyangan PKI.

Pada waktu itu, HMI juga mendapat jaminan perlindungan dari Angkatan Darat, dalam hal ini melalui Jendaral A Yani, yang tersambungkan berkat komunikasi yang dirintis dan dijalin lewat kehadiran Mas Achmad. Kenyataanya, pada tingkat praktis dan operasioanl, HMI banyak mengabil pelajaran dari militer yang kemudian melalui Mas Dachlan Ranuwihardjo, HMI mendapat teori-teori taktik dan strategi serta diperkenalkan dengan pikiran-pikiran para ahli perang, seperti Sun Tzu dan Liddel Harts. Konteks sejarah ini yang kemudian membuat Ismail Hassan Metareum (Ketua Umum PB HMI Periode 1957-1960) menyebut Mas Achmad sebagai “peletak dasar hubungan HMI dan ABRI”.

Keteladan Pribadi Pengabdi

KADER prajurit HMI ini tidak sekedar berumur panjang tetapi merupakan “pribadi yang padu”, seperti diutarakan Ahmad Zacky Siradj (Ketua Umum PB HMI Periode 1981-1983) dalam merangkum gambaran dan kesan pribadinya tentang sosok istimewa ini. Mas Achmad selalu tampil dan hadir di atas semua aneka masyarakat, aliran dan golongan, terintegrasi dan berpadu dalam dirinya pribadi santri dan priyayi, militer dan umat, serta pejabat dan rakyat. Alhasil, sulit bagi siapa pun untuk melihat Mas Achmad hanya dari satu sisi.

Bagi Achamad Tirtosudiro, predikat santri bukan penghalang untuk masuk ke dalam lingkungan priyayi, dan jabatan militer juga bukan kendala untuk menyatu dengan umat, serta tanggung jawab terhadap negara dan bangsa ketika menjadi pejabat dan sebagai rakyat sama saja. Sikap dan pembawaannya yang lentur tidak membuatnya kehilangan pendirian dan ketegasan. Justru dari sifat dan sikap itulah, terlihat keteguhan, kekokohan, dan kegigihan dalam menemukan dan melakukan sesuatu.

Pribadi ini juga digambarkan Sulastomo sebagai sosok yang disiplin dalam segala bidang, bersungguh-sungguh di dalam bidang pekerjaan yang menjadi tugasnya, memegang teguh prinsip atau keyakinan yang dipercayainya, tetapi dapat eksis di dalam lingkungan yang beraneka ragam dan berubah dengan cepat. Sosok yang konsisten ini dapat berperan dalam lingkungan yang berbeda tanpa mengubah jadi dirinya.

Sikapnya yang teguh dan konsisten memegang prinsip yang diyakininya, sehingga apa yang ia rasakan benar dan baik, teramat sulit baginya untuk ditutupi. Sikap seperti ini (bagi orang lain) menimbulkan kesan rutinitas dan bisa saja dianggap sebagai sikap yang kaku dan otoriter. Kesan otoriter diceritakan oleh Aditya putra beliau, “Ayah secara tidak terduga, ‘menunjuk’ lalu menetapkan siapa di antara putra-putrinya, bahkan cucu-cucunya yang akan mengumandangkan azan ketika salat tiba, lalu kami diajak berjamaah. Menolak ajakan tanpa alasan, tidak pernah terpikir dalam benak kami. Selain malu, itu memang tidak patut kami lakukan.” Dan sekarang lanjut Aditya, “Kami pun meniru dan juga menerapkan ‘telunjuk’ di rumah terhadap anak-anak kami sendiri.”

Ada pula cerita menarik seperti dikisahkan oleh Almarhrum Pak Bus (Bustanil Arifin, Kepala Bulog dan Menteri Koperasi dan UKM 1978-1993). Pernah suatu hari Pak Bus bersama Mas Achamad menghadiri rapat bidang Ekuin dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tetapi, karena Sri Sultan sedang ada tamu, rapat belum bisa dimulai sesuai jadwal yang seyogianya dimulai pukul 10.00. Setelah setengah jam menunggu, Mas Achmad menghampiri Pak Bus dan berkata, “Mari kita pulang!” dan Pak Bus kemudian bangkit dan mengikuti dengan perasaan hampir-hampir tidak pecaya dengan apa yang didengarnya. Demikianlah, sifat disiplin yang dimiliki Mas Achmad, ternyata juga ia terapkan kepada semua kalangan, baik di lingkungan keluarga, tempat kerja atau relasi kerja lain dan bahkan orang-orang yang (barangkali) dalam ukuran orang kebanyakan tidak layak diperlakukan seperti itu. Secara tidak terduga, kedekatan pribadi dan kebersamaan kedua Purnawirawan Jendaral dan Mantan Kabulog ini seakan terjalin sampai keduanya menghadap Sang Pencipta dalam waktu yang hampir bersamaan (Pak Bus wafat pada Minggu, 13 Februari 201, beberapa minggu sebelumnya).

Mas Achmad juga disebut bermental “sepeda”, terus bergerak, berjalan; sebab berhenti berarti jatuh, rubuh. Tokoh pejuang kemerdekaan Letnan Jendral Purnawirwan bintang tiga kelahiran Plered 8 April 1922 ini, memiliki rekam jejak pengabdian yang panjang dan telah mengemban tugas di beberapa bidang. Beliau pernah menjabat Direktur CIAD (Corp Intendans Angakatan Darat), Ketua Bulong pertama masa Orde Baru 1966, Duta Besar RI di Jerman (1973-1976) dan Kerajaan Saudi Arabia, Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (1999-2003), beliau juga ikut mendirikan sekaligus Pejabat Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) (1997-2000).

Dalam usianya yang semakin senja, seperti pernah diutarakan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI Periode 1966-1969 dan 1969-1971), justru Mas Achmad makin banyak mendapat kepercayaan di bidang pendidikan, keilmuan, dan keuniversitasan. Selain sebagai salah seorang pendiri Yayasan Wakaf Paramadina yang dipimpinnya, Mas Achamd juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba, 1986-1995) yang menurut Nurcholish membawa kemajuan luar biasa bagi perguruan tinggi ini. Beliau juga menjabat Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS), di samping berbagai jabatan yang lain. Jelas pengalaman Mas Achmad dan kapasitas pribadinya telah mendukung semua keberhasilan yang mengesankan. Sehingga pantas bila kemudian beliau dikenal sebagai orang yang tak mengenal lelah; atau militer yang tak pernah pensiun.

Warisan Perkaderan

PADA Peringatan Dies Natalis ke-18 HMI, 5 Februari 1965, saat HMI sedang gencar-gencarnya mendapat tekanan dari PKI yang ingin membubarkan HMI, Mas Achmad mengungkapkan kembali pidato Jederal Sudirman Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia yang disampaikan pada peringatan Dies Natalis I HMI di Bangsal Kepatihan Yogyakarta tanggal 6 Februari 1948: bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan hanya kepanjangan dari “Harapan Masyarakat Islam” tetapi juga “Harapan Masyarakat Indonesia”.

Ada dua hal sekurang-kurangnya yang dianggap penting kenapa Mas Achmad mengemukakan ungkapan Pak Dirman ini. Pertama, huruf “H” yang diberi kepanjangan “harapan”, artinya HMI harus memiliki tujuan yang jelas, program yang terencana, serta sanggup memelihara kegiatan-kegiatan sebagai usaha pencapaian tujuan. Kedua, “Masyarakat Islam dan Masyarakat Indonesia” menjadi sesuatu yang tidak boleh dipisahkan, tetapi harus berada dalam suatu kesatuan atau berada dalam satu tarikan nafas. Ini berati juga HMI dapat diberi kepanjagan “Harapan Masa-depan Islam” dan sekaligus juga harus menjadi “Harapan Masa-depan Indonesia.”

Keteladan kepemimpinan Mas Achmad, antara lain dikemukakan Bintoro Tjokroamidjojo, yaitu: pertama, pengabdian dengan semangat yang Islami, tetapi dengan wawasan bagi seluruh bangsa dan kedua, upaya yang tak kenal lelah, tak kenal henti, tanpa pamrih dalam membina kader, dalam mengembangkan potensi intelektual muslim Indonesia. Bahwa pengalaman hidup yang bernapaskan Islam itu dapat diabadikan bagi dan dalam pembangunan kesejahteraan bangsa keseluruhannya. Mas Achmad juga berupaya selalu agar “manusia akademis dan intelektual yang bernapaskan Islam” ini mempunyai tempat dan peran yang dihargai dalam kancah kehidupan masyarakat Indonesia.

Keunggulan pribadi Mas Achmad adalah ia sanggup tampil melalui orang lain, menyiapkan kader-kader pelanjut yang dalam banyak sisi dapat melanjutkan visi dan misinya. Ini sesungguhnya sesuai dengan kepribadian HMI sebagai organisasi pengkaderan. Mas Achmad adalah sosok pribadi HMI, tempat banyak orang menggantungkan harapan, sebagai seorang yang dikader di HMI, kemudian ia sanggup mengkader yang lain dalam meniti karier hidupnya. Inilah kemudian yang membuat banyak pihak yang menilai dirinya sebagai orang yang berhasil merealisasikan pekaderan HMI dalam bentuk nyata dan sungguh-sungguh. Beliau sangat berani dan tidak merasa risih atau khawatir dicap sebagai fanatik golongan. Memang orientasi yang ia kembangkan adalah orientasi kualitatif yang sesuai dengan tuntutan HMI dan sejalan dengan ajaran agama.

Di atas semuanya, HMI sebagai organisasi kemahasiswaan, telah membuktikan dirinya mampu memberi sumbangan yang terbaik dalam proses-proses pertumbuhan strategis bangsa Indonesia. Meminjam sebuah metafor dalam Kitab Suci (QS Shaff [61]: 4), HMI adalah barisan para pejuang yang bagaikan bangunan yang kokoh; dalam dimensi horizontal meliputi seluruh negeri dan dalam dimensi vertikal mencakup semua bidnag kehidupan nasional. Atau metafor lainnya (QS Ibrahim [14]: 24), HMI sebagai perwujudan “kalimah” atau ide-ide yang baik dan cabangnya mencakar ke langit, setiap kali menyajikan buah-buahan yang bermanfaat dengan izin Allah. Salah satu peletak batu pertama bangunan kokoh itu yang kemudian ikut merawatnya dengan tekun adalah Mas Achmad. Begitu pula, Mas Achmad adalah salah seorang yang menggali tanah, menanam biji pohon HMI, yang kemudian dengan penuh perhatian menyirami dan memberi pukuk.

Akhirul kalam, seperti pernah Mas Achmad sendiri ungkapkan, “Mudah-mudahan apa yang pernah dirintisnya dapat terus-menerus dilanjutkan secara tulus, jujur, dan ikhlas bagi kepentingan bangsa, negara, dan agama oleh generasi-generasi berikutnya”. Selamat jalan Mas Achmad, kader HMI teladan lintas generasi. Semangat, pengabdian, dan dharma baktimu adalah teladan, inspirasi, dan motivasi bagi kader-kader HMI lintas generasi. Allahumma‘ghfir lahu, warhamhu, wa ‘afihii wa’fu ‘anhu.


[*] Penulis adalah Ketua Bidang Pembinaan Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat Periode 2010-2011.