Selasa, 25 Januari 2011

DIPLOMASI, LOBI, DAN NEGOSIASI

BAB I
A. Hubungan antara diplomasi, lobi,dan negosiasi
Sebelum diskusi tentang hubungan antara diplomasi, lobi, dan negosiasi lebih jauh. Maka, alangkah baiknya jika kita kaitkan dengan ilmu komunikasi. Salah satunya adalah public relations (PR), banyak definisi yang menjelaskannya, diantaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh Institute of PR (Zaenal Abidin) menyebutkan, praktek PR sebagai disiplin ilmu dan serangkaian uusaha untuk menjaga reputasi dengan tujuan memperolah pengertian atau pemahaman dan dukungan serta mempengaruhi opini dan perilaku.
Definisi PR seperti dikutip Rhenald kasali (1994) dari John E.Marston, menyebutkan, “Public Relations is planned, persuasive communication designed to influence significant public”. Dengan kata lain pekerjaan seorang PR harus direncanakanm bentuk komunikasinya adalah komunikasi persuasif yang didesain untuk mempengaruhi khalayak sasaran dari pekerjaan PR.

Biasanya seorang PR selaku komunikator persuasif, tak berlaku lagi, dia harus memeliki suatu perencanaan dalam setiap langkahnya, harus mempunyai tujuan yang terstruktur, adanya evaluasi, untuk kemudian dilakukn peningkatan dan perbaikan guna tercapai tujuan organisasi.
Seorang PR tentunya merupakan salah satu bagian yang sangat penting untuk melakukan hubungan baik. Sesorang PR harus memiliki kemampuan diplomasi, lobi, dan negosiasi. Bagaimana mengkomunikasikan pesan-pesan organisasi diteima baik oleh publiknya, citra baik organisasi agara tetap terjaga reputasinya dan terus meningkat. Kegiatan PR juga berlaku untuk negara dalam hal ini pemerintah, bagaimana pesan-pesan diplomasi itu sampai dan diterima, untuk perusahaan bagaimana agar pesan-pesan produksi itu sampai kepada konsumen. Dari keseluruhan tugas-tugas pokok tersebut kemampuan diplomasi, lobi, dan negosiasi menempati tempat yang sentral, sebab komunikasi yang dilakukan oleh setiap bidang tidak harus bersifat formal. Komunikasi informal bisa digunakan, sifatnya harus bisa dipergunakan sama baiknya dengan komunikasi formal, bahkan untuk iklim di negara kita Indonesia kadang bentuk komunikasi informal yang sangat dominan.

Dewasa ini, konsep Diplomasi, Lobi, dan Negosiasi adalah merupakan suatu keharusan. Karena pergaulan sosial kemasyarakatan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional memerlukan diplomat, pelobi-pelobi dan negosiator yang yulung tentunya, untuk dapat mencegah tidak terjadi dan berkembangnya suatu konflik yang berkepanjangan yang pada gilirannya menjadi suatu bentrokan fisik, bahkan peperangan. Untuk itu mari kita diskusikan apa yang di maksud dengan Diplomasi, Lobi, dan Negosiasi. Lalu bagaimana hubungan ketiganya?

a. Diplomasi
Diplomasi berasal dari kata Yunani “diploun” yang berarti “melipat”. Menurut the Chamber’s Twenthieth Century Dictionary, diplomasi adalah “the art of negotiation, especially o treaties between states; political skill.” (seni berunding, khususnya tentang perjanjian di antara negara-negara; keahlian politik). Di sini, yang pertama menekankan kegiatannya sedangkan yang kedua meletakkan penekanan seni berundingnya. Ivo D. Duchachek bependapat, “Diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu negara dengan cara negosiasi dengan negara lain. Tetapi diplomasi kadang-kadang dihubungkan dengan perang. Oleh karena itulah Clausewitz, seorang filolsof Jerman, dalam pernyataannya yang terkenal mengatakan bahwa perang merupakan kelanjutan diplomasi melalui sarana lain.

Dalam mengkaji definisi-definisi yang telah disebut di atas, beberapa hak tampak jelas. Pertama, jelas bahwa unsur pokok diplomasi adalah negosiasi. Kedua, negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan negara. Ketiga, tindakan-tindakan diplomatik diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan sarana damai.

Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa “diplomasi, yang sangat erat dihubungkan dengan hubungan antar negara, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.”

Tujuan-tujuan diplomasi itu sendiri disesuaikan dengan ranahnya. Secara politik, tujuan diplomasi adalah untuk mencapai tujuan-tujuannya secara damai. Secara ekonomi, tujuan diplomasi adalah untuk mengamankan kepentingan ekonomi itu sendiri. Secara ideologis, tujuan diplomasi dalah untuk melestarikan sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam suatu negara, mencoba menyebarkan sistem-sistem suatu negara ke negara lain, dan untuk menghalangi penyebaran sistem politik, ekonomi, dan sosial negara saingannya. Definisi di atas tadi mengungkapkan beberapa hal yang penting sehubungan dengan tujuannya. Kautilya menekankan empat tujuan utama diplomasi yaitu acquisition (perolehan), preservation (pemeliharaan), augmentation (penambahan), dan proper distirbution (pembagian yang adil)

b. Lobi
Di luar negosiasi, ada aktivitas lain dari kedua pihak untuk saling mempengaruhi. Tujuan aktivitas ini adalah agar satu pihak terpengaruh dan mau menerima apa yang menjadi keinginan pihak lain. Aktivitas ini dikenal dengan istilah lobbying. Lobbying merupakan bagian dari proses negosiasi yang tidak terpisahkan. Karena untuk mencapai kesepakatan dalam negosiasi, me-lobby ini ternyata lebih efektif meskipun terkadang cara yang mereka lakukan tidak bermoral.

Secara umum istilah lobby mempunyai dua pengertian, yaitu ruang tunggu di gedung atau umum, dan kelompok yang cari muka untuk mempengaruhi anggota parlemen. Pengertian yang terakhir sering dikonotasikan negatif.
Ketika masa rehat di ruang tunggu gedung parlemen, beberapa anggota ada yang membahas ulang materi sidang atau rapat. Pembahasan ini biasanya ada yang bertujuan untuk saling mempengaruhi sesama anggota parlemen dari fraksi lain, dalam berebut pengaruh ini, tentunya didasari oleh berbagai alasan, termasuk di dalamnya kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Terlepas dari berbagai kepentingan ini, anggota parlemen yang mencoba mempengaruhi pembuat undang-undang disebut juga lobbyist, sedangkan kegiatannya dikatakan lobbying. Jadi, secara umum istilah lobbying adalah suatu kegiatan anggota parlemen untuk mempengaruhi pembuat undang-undang.

Namun demikian, kegiatan lobbying ini tidak terbatas pada kegiatan anggota parlemen saja. Ia bisa dilakukan oleh orang pada umumnya untuk suatu tujuan tertentu, misalnya saja untuk memenangkan tender pekerjaan atau pertemuan dalam rangka memasarkan produk. Dengan demikian, pengertian tadi bisa diperluas lagi menjadi suatu kegiatan orang-orang yang berusaha mempengaruhi orang lain untuk suatu tujuan tertentu. Pengertian ini sedikit lebih ekstrim karena tujuannya adalah mempengaruhi orang lain. Pengertian ini berbeda dengan provokasi yang juga berusaha mempengaruhi atau untuk memancing suatu perbuatan yang mungkin dapat berakibat buruk bagi orang lain.

c. Negosiasi
Negosiasi (Negotiation) dalam arti harfiah adalah negosiasi atau perundingan. Negosiasi adalah komunikasi timbal balik yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Negosiasi memiliki dua arti, yaitu:
1. Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;
2. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Menurut Stephen Robbins dalam bukunya “ Organizational Behavior” ( 2001), negosiasi adalah proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut. Sedang dalam komunikasi bisnis, negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan. Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala :

Kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan.
Terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak. Keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain. Kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ?

Menurut Arbono Lasmahadi (2005), upaya negosiasi tidak diperlukan manakala :
1. Persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak,
2. Salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain.
3. Negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi.

Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain : Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi?
Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan?
Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan?
Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :

BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement) , yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan. Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi.

ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.

Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan.

Secara ringkas dapat dirumuskan, bahwa negosiasi adalah suatu proses perundingan antara para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang sesuatu permasalahan.

d. Kaitan antara diplomasi, lobi, dan negosiasi
Walaupun bentuknya berbeda, ketiganya ini merupakan sebuah keharusan yang harus dimiliki oleh seorang komunikator atau seseorang yang bekerja sabagi humas. Namun esensi Diplomasi, Lobi, dan Negosiasi mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai sesuatu target (objective) tertentu.

Diplomasi harus diperankan oleh seorang diplomat handal dan mempunyai komunikasi yang tinggi, kegiatan ini biasanya terjadi dalam kegiatan luar negeri antar negara. Lobi-lobi atau negosiasi harus diperankan oleh Pelobi (Lobyiest) yang mahir dan mempunyai kemampuan berkomunikasi yang tinggi (komunikabilitas). Hanya saja “Negosiasi” merupakan suatu proses resmi atau formal, sedangkan Lobi; merupakan bagian dari Negosiasi atau dapat pula dikatakan sebagai awal dari suatu proses Negosiasi.

Dewasa ini upaya lobi-melobi bukan lagi monopoli dunia politik dan diplomasi, tetapi juga banyak dilakukan para pelaku bisnis, selebritis dan pihak-pihak lain termasuk PNS rendahan. Istilah Lobi yang berarti teras atau serambi ataupun ruang depan yang terdapat pada suatu bangunan atau hotel-hotel yang dijadikan sebagai tempat duduk tamu-tamu. Sambil duduk-duduk dan bertemu secara santai, seraya berbincang-bincang untuk membicarakan sesuatu mulai dari hal yang ringan-ringan sampai EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya, kepada masalah politik dan pemerintahan dalam negeri bahkan luar negeri, baik dalam rangka pendekatan awal sebelum pelaksanaan negosiasi maupun secara berdiri sendiri untuk kepentingan lobi itu sendiri. Biasanya lobi-lobi dilakukan sebagai pendekatan dalam rangka merancang sesuatu perundingan. Apabila lobi berjalan mulus diyakini akan menghasilkan perundingan yang sukses. 5. Negosiasi sebagai suatu Fungsi dan Sarana Istilah Negosiasi sebenarnya berawal dari dunia diplomasi yaitu dunia yang digeluti oleh para diplomat (Dubes, Duta, Kuasa Usaha, Konsul, dan lainlain) dalam melakukan kegiatan sesuai kepentingan negaranya di negara mana mereka bertugas.

B. Model hubungan antara diplomasi, lobi, dan negosiasi
Diplomasi merupakan seni berunding, seni berembuk, cara menyampaikan suatu pesan atau tujuan melalui pembicaraan atau perundingan. Diplomasi dapat dilakukan secara resmi (formal) maupun tidak resmi (non formal). Seni berdiplomasi tegantung kepada kemampuan individual seorang diplomat, intinya adalah negosiasi itu sendiri. Diplomasi dilakukan jika terdapat konflik atau perbedaan dalam kepentingan suatu negara atau kelompok. Contoh, konflik 2 negara serumpun antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini saling bersitegang dalam persoalan batas teroterial negara, kasus ambalat, TKI, dan warisan budaya (wayang, batik, dll). Dari permasalahan tersebut kemudian dilakukan diplomasi antar kedua negara untuk mencapai kesepahaman agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Adapun model atau jenis diplomasi. Menurut S.L Roy antara lain :
1. Diplomasi komersial (perdagangan)
2. Diplomasi demokratik
3. Diplomasi totaliter
4. Diplomasi (melalui) konferensi
5. Diplomasi diam-diam
6. Diplomasi Preventif
7. Diplomasi sumber daya

Adapun dalam wikipedia menyebutkan jenis atau model diplomasi antara lain :
1. Diplomasi koboi
2. Diplomasi transformasional
3. Diplomasi informal
4. Diplomasi publik
5. Diplomasi preventif
6. Diplomasi ping-pong,
7. Paradiplomasi

Bila dikaitkan dengan kegiatan negosiasi, negosiasi adalah merupakan salah satu fungsi utama dari para Diplomat. Oleh karena itu, dalam pergaulan internasional hampir setiap negara menempatkan diplomat-diplomatnya di negara-negara sahabat. Meskipun istilah dan praktik negosiasi berawal dari dunia diplomasi, namun dewasa ini sudah menjadi sarana pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam dimensi eksternal maupun dimensi domestik.

Kata kunci negosiasi adalah seperti di bawah ini:
a. Negosiasi diplomatik
b. Negosiasi perdagangan internasional (bilateral maupun multilateral)
c. Negosiasi global (seperti negosiasi sengketa utara & selatan)
d. Negosiasi antara buruh dan majikan
e. Negosiasi antara penjual dan pembeli
f. Negosiasi antara dua korporasi yang ingin melakukan merger atau aliansi strategik.
g. Negosiasi pembentukan joint venture
h. Negosiasi mengenai investasi langsung (direct investment)
i. Negosiasi pilkada
j. Negosiasi pemenangan tender, dan sebagainya.

Negosiasi juga terdapat dua model, yaitu :
1. Negosiasi distributif (kompetitif), negosiasi ini lebih menekankan pada prinsip kalah dan menang bagi kedua belah pihak yang terlibat pada kegiatan negosiasi. Tidak peduli terhadap kepentingan atau kepuasan orang lain; mengorbankan orang lain, dan berorientasi pada hubungan jangka pendek. Ciri-ciri negosiator distributif antara lain :
a. Tawaran awal tidak masuk akal (ekstrem)
b. Kewenangan terbatas
c. Mempermainkan emosi lawan
d. Pantang memperlihatkan kelemahan
e. Hampir tidak memberikan kelonggaran
f. Mengabaikan batas waktu

2. Negosiasi integratif (kooperatif), negosiasi ini lebih mengedepankan prinsip menang dan menang antara kedua belah pihak yang terlibat pada kegiatan negosiasi. Kegiatan ini lebih memperhatikan kepentingan dan kepuasan orang lain dan berorientasi pada hubungan jangka panjang. Adapun ciri-ciri negosiator integratif antara lain:
a. Menyesuaikan diri dengan kebutuhan orang lain
b. Mencari titik temu dari setiap perbedaan
c. Menyelaraskan setiap perbedaan.

Lobi memiliki beberapa karakteristik yaitu bersifat informal dalam berbagai bentuk, pelakunya juga beragam, dapat melibatkan pihak ketiga sebagai perantara, tempat dan waktu fleksibel dengan pendekatan satu arah oleh pelobi. Ada beberapa cara untuk melakukan lobi baik yang legal maupun ilegal, secara terbuka maupun tertutup/rahasia, secara langsung ataupun tidak langsung. Sebagai contoh: upaya penyuapan dapat dikategorikan sebagai lobi secara langsung, tertutup dan ilegal. Lobi semacam ini jelas melanggar hukum, namun karena bersifat tertutup/rahasia, agak sulit untuk membuktikannya (contoh: kasus-kasus lobi pemenangan tender dengan pendekatan gula-gula/wanita, seperti yang sering diberitakan diberbagai mass media).


BAB II
A. Efektivitas lobi dan negosiasi dalam memecahkan masalah setiap konflik
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa negosiasi bisa saja terjadi apabila aktivitas Iobbying mendapat respon dari pihak lain. Jika pihak lain tidak menanggapi pendekatan yang anda lakukan, maka negosiasi tidak akan terjadi. Sebaliknya, negosiasi bisa terjadi karena adanya konflik, dan lobbying ada di dalamnya untuk mengurangi konflik. Anda sebagai pemuka masyarakat tentunya berkeinginan mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Dan anda pun mengundang dua pihak tersebut, untuk duduk bersama membicarakan duduk permasalahannya. Namun, kedua pihak tidak juga segera berdamai karena masing-masing pihak merasa pendapatnyalah uang benar.

Untuk mencegah meluasnya konflik yang berujung pada tindak kekerasan, anda mengutus seseorang yang dapat dipercaya dan netral. Biasanya anda pilih dari orang-orag terdekat anda. Utusan anda itu akan masuk ke salah satu pihak dan mencoba melakukan pendekatan persuasif atau dengan cara kekluargaan agar diperoleh informasi yang akurat mengenai masalah yang menjadi penyebab pertikaian. Utusan anda ini tidak melakukan negosiasi karena karena dia tidak mempunyai konflik dengn mereka, melainkan dia hanya menawarkan solusi kreatif pada masing-masing pihak. Jika solusi kreatif utusan anda diterima oleh satu pihak, maka utusan anda pun harus menawarkan solusi yang sama pada pihak lain agar dicapai kesesuaian solusi dengan pihak lain. Demikian pula dengan anda yang mengutus seseorang itu. Dia harus menyampaikan hasil perkembangan lobby yang dia lakukan. Di sini utusan anda memainkan peran bukan sebagai penengah, tetapi sebagai penghubung dari pihak-pihak yang bertikai. Ketidakberpihakannya itulah yang menjamin mereka mengeluarkan seluruh perasaan dan permasalahnnya.

Jika kedua pihak yang bertikai itu telah menerima solusi kreatif yang anda tawarkan melalui utusan anda, bisa dipastikan kedua pihak akan duduk bersama dan menerima solusi perdamaian yang anda tawarkan.
Efektivitas lobi dan negosiasi tentunya sangat ditentukan oleh lobbyiest dan para negosiator. Tentunya efektivitas ini dapat dilihat dari kondisi dan situasi masalah serta hasil dalam memecahkan masalah dalam konflik.

B. Proses negosiasi dan lobi langkah-langkah negosiasi yang efektif.
Dalam proses negosiasi dan lobi tentunya harus memiliki stragtegi atau teknik serta langkah-langkah yang efektif, agar sebuah proses negosiasi dan lobi tentunya berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan.

a. Strategi Dalam Bernegosiasi
Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut :
1. Win-win. Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation.
2. Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
3. Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
4. Lose-win. Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka.

b. Taktik Dalam Negosiasi
Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator.
1. Membuat agenda. Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan.
2. Bluffing. Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar.
3. Membuat tenggat waktu (deadline). Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan.
4. Good Guy Bad Guy .Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat’ dan “baik” pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
5. The art of ConcesiĆ³n .Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi Intimidasi. Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak.

c. Perangkap Dalam Negosiasi
Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya “The Mind and the Heart of Negotiation”, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama , yaitu :
1. Leaving money on table (dikenal juga sebagai “lose-lose” negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan “win-win” solution.
2. Setting for too little (atau dikenal sebagai “kutukan bagi si pemenang”), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh.
3. Meninggalkan meja perundingan , yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan.
4. Setting for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain.

d. Proses Negosiasi dan Lobi
Berikut proses negosiasi :
1. Persiapan
2. Memulai langkah strategis
3. Diskusi dan komunikasi
4. Melakukan pengukuran :
a. Diri
b. Lawan
c. Situasi
d. Pengembangan strategi
e. Penutup dan kesepakatan
f. Pasca kesepakatan



BAB III
A. Penutup
Dari paparan diatas tadi, bahwa efektifitas kegiatan diplomasi, lobi, dan negosiasi tentunya kita dapat melihat bahwa kegiatan tersebut merupakan sebuah keharusan global dalam dinamika kehidupan individu dan kelompok. Kegiatan tersebut merupakan sebagai alat utnuk menjembatani setiap permasalahan atau konflik yang terjadi di sekitar kita, yang mana kita sebagai individu atau kelompok harus memiliki kemampuan untuk memecahkan setiap permasalahan atau konflik yang ada. Konflik sering terjadi itu biasanya atas dasar permasalahan negara, kelompok, bahkan individu. Efektifitas diplomasi, lobi, dan negosiasi akan berhasil jika setiap individu dan kelompok dapat memberikan solusi kreatif dalam memecahkan permasalahan atau sengketa yang ada.

Para pelaku kegiatan tersebut, juga harus memiliki kemampuan handal. Biasanya pelaku kegiatan ini adalah orang yang bekerja pada bidang humas atau public relations. Tentunya individu yang terlibat dalam kegiatan ini harus communicatable (handal dalam berkomunikasi). Mereka harus memiliki strategi dan taktik dalam melakukan diplomasi, lobi, dan negosiasi.



B. Daftar Pustaka


Hermawan, Herry. Dr,S.Sos,SS,M.Si. Reading Kit (Slide Presentation) Mata Kuliah Diplomasi dan Negosiasi, MIKOM, Pasca Sarjana Univ. Muhammadiyah Jakarta, 2011

Nasution, Rusly ZA, Kemampuan Lobi dan Negosiasi Menjadi Suatu Keharusan, EDUCARE: Jurnal Pendidikan Budaya. 2011

Olil, Helena, Dra, MM, Teknik Lobi & Negosiasi, Modul Hubungan antar Lobi, Diplomasi, dan Negosiasi, Pusat Pengembangan Bahan Ajar – Universitas Mercu Buana, Jakarta, 2008.

Partao, Zainal Abidin, Teknik Lobi dan Diplomasi Untuk Insane Public Relations, Gramedia, Jakarta, 2006

Sunar Prasetyono, Dwi. Seni Kreatif Lobi dan Negosiasi, Merancang Kiat-Kiat Sukses Lobi dan Negosiasi Untuk Segala Kepentingan Anda (Dari Bisnis, Karir hingga Politik). Penerbit Think, Yogyakarta, 2007

ULAMA DAN JAWARA : PERAN DAN POSISINYA DALAM DINAMIKA SOSIAL POLITIK DI BANTEN


A. PENDAHULUAN

Semenjak Pemerintahan Kolonial Belanda menaklukan Kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyatnya terhadap pemerintah kolonial dan aparatnya tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama, bersifat agresif dan bersemangat memberontak.[1]

Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di antara unsur-unsur yang merupakan ramuan yang membentuk kebudayaan mereka, yakni hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu – Jawa. Islam mengalami penetrasi yang sangat dalam pada masyarakat Banten.[2]

Dalam daerah yang sangat terkenal ketaatannya terhadap agama seperti daerah Banten sudah sewajarnya jika Ulama menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat. Ulama yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak saja dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik. Kekuasaan Ulama seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan[3].

Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam[4]. Dengan keunggulan yang dimilikinya tersebut jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magis..

Dinamika politik di Banten mulai terlihat pada masa revolusi pada tahun 1945-1949 setelah kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kaum ulama atas pilihan rakyat secara serentak segera menduduki jabatan-jabatan di jajaran pemerintahan,terutama kepamongprajaan. Penggantian itu dilakukan setelah melihat para pejabat lama diam saja, bahkan berada dalam kebingunan, setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proses penggantian itu terus berlangsung setelah “Dewan” Pimpinan Ce Mamat terbentuk dan melakukan aksinya.

Hal inilah yang kemudian menarik bagi penulis untuk mengetahui sejauh mana sepak terjang ulama dan jawara dalam proses demokrasi di Banten sserta pengaruhnya terhadap masyarakat. Yang mana kita tahu bahwa uraian di atas tadi menunjukkan betapa pentingnya peran ulama dan jawara di dalam proses politik di Banten

B. PEMBAHASAN

a. Dinamika Sosial Politik Banten

Pada dasarnya manusia itu tidak mungkin dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan manusia lain untuk berinteraksi demi memenuhi kebutuhan hidupnya, baik pada segi-segi fisiologi, psikologi, maupun sosiologi. Dengan demikian, disebabkan adanya kebutuhan untuk bergaul dengan manusia lain itulah, terjadilah dinamika sosial. Gilirannya, tercipta kelompok-kelompok sosial yang masing-masing di antaranya memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Tentu saja buntutnya, tumbuh persaingan, lahir kompetisi, saling adu strategi, bahkan pada akhirnya muncul pula sikap-sikap saling mendominasi atau saling menguasai di antara kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri.

Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. (Dr Rusadi Kantaprawira, SH, 2002 :22) Persepsi budaya politik sering diberi arti sebagai peradaban politik yang digandengkan dengan prestasi dalam bidang peradaban dan teknologi. Hal ini terlihat pula dari lingkup budaya politik yang meliputi: pola orientasi individu, yang diperoleh dari pengetahuan yang luas maupun yang sempit; orientasinya yang dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, keterlekatan ataupun penolakan; orientasi yang bersifat menilai terhadap objek, dan peristiwa politik, hal tersebut dinilai sebagai peradaban daripada sebagai kebudayaan. Oleh karena budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik

dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan, dan wewenang.

Hubungan budaya politik dengan perilaku politik menurut Robert K. carr (et.al) dirumuskan bahwa perilaku politik adalah suatu telaah mengenai tindakan manusia dalam situasi politik . Situasi politik meliputi; pengertian repons emosional berupa dukungan maupun simpati kepada pemerintah, respon terhadap perundang-undangan dan lain-lain. Suatu model budaya politik tertentu tidak dapat dihubungkan secara kekar dengan suatu sistem politik tertentu. Budaya politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga: a). Budaya politik parokral ( parochial political culture) adalah budaya politik yang terbatas pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya propinsial dan adanya kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau keuasaan politik dalam masyarakatnya, b). Budaya politik kaula (subject political culture) adalah dimana anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian, mungkin pula kesadaran, terhadap sistem sebagai keseluruhan terutama terhadap segi output dan orientasi mereka yang nyata terhadap objek politik dapat terlihat dari pernyataannya, baik berupa kebanggaan, ungkapan sikap mendukung maupun sikap bermusuhan terhadap sistem, terutama terhadap aspek outputnya, dan c). Budaya politik partisipan (participant political culture) adalah ditandai oleh adanya perilaku yang berbeda perilaku sebagai kaula dimana seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menaggung kewajibannya. [5]

Budaya politik sebagai salah satu unsur atau bagian kebudayaan merupakan satu diantara sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik. Dalam kultur politik itu sendiri berinteraksi antara lain sejumlah sistem : sistem ekologi, sistem sosial, dan sistem kepribadian yang tergolong dalam kategori lingkungan masyarakat, maupun lingkungan luar masyarakat, sebagai hasil kontak sistem politik dengan dunia luar.

Dinamika politik di Banten sendiri itu bisa dilihat dari gambaran umum budaya local itu sendiri. Pada uraian pendahuluan di atas tadi bahwa dinamika social politik di Banten sudah di mulai sejak masa revolusi (1945-1949). Di mana ulama dan jawara merupakan dua symbol yang erat kaitannya dengan budaya local di Banten sangat mempengaruhi prosses dinamika politik di Banten itu sendiri. Pada penerapannya politik di Banten sendiri masih lekat dengan dominasi Jawa dilihat dari letak goegrafisnya yang cenderung mengedepankan konsep “halus”, menjunjung tinggi ketenangan sikap, dan mengedepankan kebersamaan

Heinelt dan Wollmann (1991) mendefinisikan politik lokal sebagai suatu sense dalam pembangunan dan penghargaan secara sosial yang berupa keputusan-kepurusan dalam sistem interaksi berdasarkan fisik dan ruang sosial. Sementara Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah).

Berbicara tentang politik lokal akan terkait dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Di mana kekuasaan itu tidak hanya didasarkan pada kemampuan tetapi juga oleh faktor lain yang memiliki kaitan dengan keberadaan masyarakat atau daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu ada dua faktor yang mempengaruhi kehidupan politik lokal masyarakat Indonesia, pertama munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik, sebagai salah satu indikasi penguatan identitas terhadap wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia yang kaya akan identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bisa memperkuat pluralisme (Abdilah, 2002) Sementara Giddens (2000) menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Ia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari makna “bangsa kosmopolitan” yang sesungguhnya.

Kedua, Kehadiran masyarakat dalam wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dari perluasan arena gerakan rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan kebijakan daerah sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut diharapkan bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh sebab itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara pertumbuhan otoritas pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal untuk melakukan stabilitas ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program pembangunan (Mac Andrew, 1986).

Dinamika poltik di Banten semakin bergejolak sejak runtuhnya rezim orde baru. Pemekaran daerah Banten yang berpisah dari Jawa Barat Tahun 2000 memberikan sinyal positif bagi masyarakat Banten, selain itu didukung pula dengan kebijakan pemerintah pusat tentang otonomi daerah, yang dikemas dengan rangkaian pesta demokrasi di masing-masing daerah seperti Banten itu sendiri. Dari proses inilah setidaknya pendidikan politik masyarakat diuji, sehingga dapat dilihat perilaku politik, budaya politik dan dinamika social politik itu sendiri dilihat.

b. Peran Ulama dan Jawara dalam dinamika Politik di Banten

Banten tidak bisa dilepas dari dua kata kunci utama yaitu Ulama dan Jawara dilihat dari sisi budaya yang mengedepankan nilai-nilai religious keagamaan (ulama) serta kehormatan (jawara). Maka sangatlah wajar jika keduanya sering disebut sebagai tokoh kharismatik di banten. Seperti telah di uaraikan pada pendahuluan tadi bahwa Ulama menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat. Ulama yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak saja dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik. Kekuasaan Ulama seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan[6]. peranan yang dimainkan oleh ulama dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubĆ¢ligh. Peranan seorang ulama adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik ulama dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Jika dilihat secara umum maka peran social ulama di Banten adalah sebagai tokoh masyarakat kelas elit masyarakat, guru, penentu kebijakan, dan pemimpin.

Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar” terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten.

Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.[7]

Seiring berjalannya proses demokrasi sejak pemili 1999 sampai saat ini, peran ulama dan jawara dalam partisipasi politik di Banten tidak pernah redup. Hal ini dapat dilihat bahwa ulama dan jawara masih menjadi prioritas utama dan kedudukannya sebagai elit social di banten dapat menjadi barometer politik masyarakat. Bisa kita lihat ulama-ulama Banten yang terlibat dan ikut andil dalam partai politik bisa diambil contoh Alm. Abuya Bustomi menjadi tokoh yang sangat disegani sehingga masyarakat. Contoh lain adalah Tubagus H. Chasan Schohib[8] Ketua Pendekar Banten ini membentuk peta politik Banten yang sangat jelas dan kekuatan politiknya sangat kuat, itu dapat dilihat dari anak kandungnya sendiri Rt. Atut Chosyiah (gubernur Banten) bahkan dari anak kandungnya yang lain dan menantunya ramai-ramai ikut mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah di kabupaten dan kota yang ada di Banten.

c. Hubungan Ulama dan Jawara

Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh ulama dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Ulama lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten.

Ulama dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. Ulama mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).

Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan ulama sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, ulama merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para ulama jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan ulama terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari ulama, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada ulama dipandang sebagai penebus “berkah” ulama yang telah diberikan kepadanya.[9]

C. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan jaringan membuat ulama dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga ulama dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah subkultur ulama dan jawara.

Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, ulama dalam masyarakat Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang “terpelajar” muslim yang telah membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar ulama dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar ulama merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal.

Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.

Ulama dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.

Kedua. peranan yang dimainkan oleh Ulama dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubĆ¢ligh. Peranan seorang ulama adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik ulama dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.

Ketiga, jaringan tradisional yang dibangun kelompok ulama dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron.

Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, ulama dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari ulama. Sebaliknya, ulama atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, juga banyak ulama yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.

Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada empat hal yang perlu diperhatikan:

1. Perkembangan dinamika politik lokal sangat sangat ditentukan oleh peranan masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan potensi lokal guna mencapai tujuan negara.

2. Penerapan otonomi daerah dalam pemerintahan dapat membawa hasil positif dan negatif dalam perkembangan dinamika politik lokal

3. Ulama sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan ulama dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan ulama mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.

4. Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap dinamika social politik di Banten. Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.

D. DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pusataka Jaya, 1984,

Martin van Briunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Isalam di Indonesia, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999,

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1985, p. 55.

M.A. Tihami, “Kiyai dan jawara di Banten”, Tesis Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, 1991.

Muasik Kamal, Skripsi Budaya Politik Kampus studi terhadap aktivis mahasiswa di lingkungan universitas negeri semarang. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. 2005.

http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-04b.asp - _ftnref9M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten” Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991),







[1] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pusataka Jaya, 1984, p. 15

[2] Martin van Briunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Isalam di Indonesia, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999, p. 246.

[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1985, p. 55.

[4] M.A. Tihami, “Kiyai dan jawara di Banten”, Tesis Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, 1992, tidak diterbitkan.

[5] Lihat Kamal Muasik, Skripsi Budaya Politik Kampus studi terhadap aktivis mahasiswa di lingkungan universitas negeri semarang. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. 2005. h. 27-28

[6] Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, p. 55.

[8] H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di Banten memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Lebih jauh lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur Propinsi Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara, yakni dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.

[9] Lihat Tihami, “Ulama dan Jawara di Banten” hlm. 157-166

IKLAN POLITIK SEBAGAI BAGIAN DARI OPINI PUBLIK*

Opini publik adalah kumpulan pendapat mengenai hal ihwal yang mempengaruhi atau menarik komunitas, untuk melukiskan kepercayaan atau keyakinan yang berlaku di masyarakat dan oleh pemerintah dianggap bijaksana untuk diindahkan (Dan Nimmo : 2004 :10). Tak kalah pentingnya adalah serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan praktek trendy pemakaian metode iklan politik untuk merekam opini publik dalam kegiatan pemilu di Indonesia, pencabangannya, dan penggunaan iklan politik untuk mempengaruhi pemilih. Mengapa partai partai dan kandidat politik kini gandrung dengan iklan politik? Mengapa kritik terhadap iklan politik merebak? apakah semua kritik memiliki harga cukup untuk didiskusikan?

Sejak era reformasi dan kemudian disusul sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, terdapat fenomena yang tidak pernah ada pada masa orde baru yaitu marketing politik. Marketing politik merupakan akibat logis dari dibukanya sistem politik yang demokratis, dimana pemilih bebas menentukan pilihan. Politik yang demokratis kini analog dengan kompetisi dalam dunia bisnis, dimana kandidat harus memperebutkan calon pemilih (konsumen) sebagai khalayak sasaran. Salah satu alat yang lazim digunakan dalam marketing politik adalah iklan, disamping berbagai tools komunikasi lainnya.

Di Indonesia iklan politik semakin penting digunakan para politisi dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden, tetapi juga tak lepas dari kontroversi. Pakar politik Arbi Sanit misalnya menilai langkah sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa saat ini untuk menghadapi pemilu 2009 merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab menurutnya lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Lebih jauh Arbi, seperti dikutip Kompas mengatakan:

“Lewat iklan itu, masyarakat hanya diajak untuk memilih orang yang populer. Ini menjebak rakyat karena pemimpin tidak cukup bermodalkan popularitas tetapi harus memiliki pengalaman dan terbukti teruji. Di Indonesia iklan membuat orang dapat berubah citra dalam waktu singkat. Seharusnya, orang itu juga harus membuktikan kemampuannya, misalnya membuat partainya memenangi pemilu. Iklan oleh aktivis parpol terbukti efektif mempengaruhi rakyat. Ini terlihat pada Pemilu 2004. Momen itu (Pemilu 2004) yang memancing adanya kesalahan jalan politik kita, terutama lewat iklan.”

Membahas iklan politik memang menarik, apalagi di Indonesia bidang ini belum banyak dikaji. Selain kontroversi yang meliputinya, isu lain adalah seberapa efektif sebenarnya iklan politik untuk menjaring massa pemilih. Tanpa kajian yang jelas tentu para kandidat hanya menghabiskan dana milyaran rupiah dengan percuma untuk memproduksi dan menayangkan iklan. Pembahasan berikut akan melihat sampai dimana potensi iklan sebagai alat marketing politik.

Potensi Iklan Politik

Menurut Linda Lee Kaid dalam Putra (2007), iklan politik adalah proses komunikasi dimana seorang sumber (biasanya kandidat dan atau partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan melalui media massa guna meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku politik khalayak. Iklan sendiri dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi, membujuk dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1).

Seperti halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan politik tak lain adalah mempersuasi dan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut iklan politik tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan informasi tentang siapa kandidat (menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa yang telah kandidat lakukan (pengalaman dan track record kandidat, bagaimana posisinya terhadap isu-isu tertentu (issues posisition) dan kandidat mewakili siapa (group ties). Isi (content) Iklan politik senantiasa berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang diangkat (policy position), kualitas kepemimpinan (character), kinerja (track record-nya) dan pengalamannya. Iklan politik, sebagaimana dengan iklan produk komersial yang tak hanya memainkan kata-kata (word), tetapi juga, gambar, suara dan musik.

Lebih jauh iklan politik juga berfungsi membentuk image kandidat. Iklan sebagai bagian dari marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya. Menurut Peteraf dan Shanley (1997) image bukan sekadar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap kelompok atau group. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional maupun emosional. Image politik, menurut Herrop (1990), dapat mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu partai politik. Di sini, image politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik.

Image politik seperti terlihat dalam produk iklan tidak selalu mencerminkan realitas obyektif. Suatu image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Image politik dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat. Image politik dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Image politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Di samping itu, image politik dapat memengaruhi pula opini publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu. Misalnya, katakanlah suatu partai politik memiliki image sebagai partai yang tiradisional, di mana nilai-nilai tradional lokal menjadi tujuan perjuangan. Image tersebut dapat memotivasi aktor-aktor politik dalam partai tersebut untuk selalu mengacu pada hal-hal yang bersifat tradisional. Selain itu, masyarakat awam pun niscaya memposisikan partai tersebut sebagai institusi yang memperjuangkan nilai-nilai tradisional. Perlu dicatat di sini bahwa ciri tradisional sering dibedakan dengan modern. Ketika suatu partai politik dicap sebagai tradisionalis, otomatis partai tersebut memiliki sistem nilai yang bertolak belakang dengan ide-ide modern.

Dari sisi sifat pesan, iklan dapat juga digolongkan menjadi iklan positif dan iklan negatif. Iklan positif adalah iklan yang memuat keunggulan dari sebuah kontestan yang dipasarkan Sedangkan iklan negatif adalah iklan tentang kelemahan pesaing. Iklan negatif lebih cepat menarik per-hatian pemilih ketimbang iklan positif. Namun demikian, iklan negatif tidak selalu memberi citra positif kepada pi-hak yang menggunakan. Karena itu, penggunaan iklan negatif harus memperhitungkan risikonya.

Kritik terhadap Iklan Politik

Al Ries dan Laura Ries (2002) melalui karyanya yang menyentak kalangan periklanan, The Fall of Advertising and the Rise of PR, menyebut era periklanan tengah berakhir. Iklan gagal menyajikan kredibilitas di hadapan pemirsa dan meningkatkan penjualan produk. Ries dan Ries sendiri bukan antiperiklanan; keduanya meletakkan periklanan sebagai kelanjutan public relations (PR). PR-lah yang membentuk merek (citra), yang selanjutnya diperteguh iklan. Jadi, memercayai iklan untuk meyakinkan pemirsa akan kredibilitas isi tayangannya menjadi pekerjaan sia-sia.

Iklan adalah murni wilayah komersial, siapa pun bisa beriklan asal mampu membayar. Logis jika partai besar dengan sumber dana berlimpah lebih mampu beriklan ketimbang parpol gurem. Ketika beriklan, parpol menjual program dan gagasan, sama dengan perusahaan yang ingin menjual produk. Namun, banyaknya iklan tidak menjamin produk kian laku. Juga dalam kampanye pemilu, membeli iklan di media bukan otomatis membeli suara pemilih. Meningkatnya dukungan suara tidak sepenuhnya disebabkan keberhasilan teknik beriklan, terlebih lagi untuk iklan politik. Preferensi pemirsa tidak secara linier berubah dengan adanya iklan-iklan yang menggunakan teknik atau kreativitas tinggi. Oleh karena itu, logis bila mayoritas pemirsa-pemilih (ada yang menyebut angka 70 persen) sudah menentukan akan memilih siapa dalam pemilu presiden. Fenomena keterisolasian iklan dari preferensi pemilih berlaku tidak hanya di negara yang ikatan primodial dan paternalismenya kuat, tetapi juga ditemui di negara- negara yang memiliki tradisi kuat berdemokrasi.

Iklan dibuat sebagai alat memengaruhi dukungan publik. Namun, karena realitas keterisolasian iklan dengan preferensi pemilih, tujuan ini tidak efektif untuk memperluas dukungan suara. Kecuali, memperteguh pendapat pemilih yang telah mengikatkan emosinya. Jadi, iklan bukan pada posisi untuk memengaruhi, melainkan menguatkan pendirian-pendirian pemilih yang memiliki ikatan tradisional tertentu dengan capres (Putra, 2007).

Sedangkan dengan sinis Hikmat Budiman (Koran Tempo, 27 Maret 2004) mengatakan Iklan komersial memang tidak pernah dirancang untuk memaparkan kebenaran seperti para pendidik, melainkan justru melakukan surogat, mengelabui massanya dengan memutarbalikkan realitas seperti yang biasa dilakukan para ideolog tempo dulu. Iklan pencuci rambut, misalnya, menciptakan kenyataan palsu tentang begitu memalukannya kalau ada kelemumur pada rambut. Tapi sejauh ini tidak pernah ada somasi dengan tuduhan, misalnya, “tidak memberi pendidikan kultural” kepada publik.

Mengukur Kekuatan

Dengan melihat pembahasan diatas kita melihat bahwa iklan politik memiliki kekuatan dan kelemahan sebagai opini publik. Terutama mengenai efektivitasnya dalam menjangkau pemilih. Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai efektivitas iklan politik guna memenangkan pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin. Kenneth Goldstein, ahli ilmu politik Universitas Wiscounsin mengatakan, iklan politik bisa mempengaruhi, terutama dalam pemilihan antara dua calon presiden yang memiliki kualitas dan kemampuan hampir sama. Di negara maju, partai politik yang bersaing dalam pemilu memiliki massa fanatik sendiri yang disebut true believers sehingga suara swing voters yang kecil akan sangat menentukan kemenangan (Yulianti, 2004).

Dengan demikian jelas bahwa iklan politik memang seharusnya tidak dijadikan sebagai alat utama dalam kampanye kandidat, terlebih lagi dijadikan sebagai opini public, namun hanya sebagai alat penunjang. Kita tahu bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih akan ditentukan paling tidak oleh kondisi awal pemilih (lihat tipologi pemilih hal. 9), media masa (iklan dan berita) serta partai politik atau kontestan. Bisa jadi faktor keluarga dimana individu hidup didalamnya akan lebih kuat sehingga sangat menentukan pilihan-pilihan politik. Atau kualitas pendidikan dalam masyarakat sangat tinggi, sehingga mereka tidak begitu saja percaya dengan pemberitaan atau iklan. * Zaenal Mutaqin

DAFTAR PUSTAKA

Afdal Makkuraga Putra. Emosionalitas dan Negativity dalam Iklan Politik Pilkada, Jurnal Media Watch, 31 Agustus 2007

Al Ries dan Laura Ries. 2002. The Fall of Advertising and the Rise of PR. New York: Harper Collins Publishers

Dan Nimmo. 2004. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media, Bandung: Remaja Rosyda Karya

Hikmat Budiman. Iklan Partai Politik dan Konservatisme. Koran Tempo, 27 Maret 2004

Sudiana. 1986. Komunikasi Periklanan Cetak. Bandung: Remadja Rosyda Karya

Stanley Adi Prasetyo. Kita Takut pada Kampanye Negatif. Suara Merdeka, 30 Mei 2004

T. Yulianti, Iklan Politik di Televisi, Kompas, 15 Maret 2004

___________. Iklan Politik Bisa Menjebak, Kompas, 22 Mei 2008

Yusuf Maulana. Kredibilitas Iklan Politik di Televisi, Kompas, 26 Juni 2004