Rabu, 20 April 2011

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat! (Menarik Untuk dibaca)

Oleh Yudhistira ANM Massardi

Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai-katakanlah hingga dua dekade ke depan-yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.

Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Dalam ”kalimat lain”, ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya.

Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi? Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang.

Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot. Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.

Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah- yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi-kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.

Kreativitas dan imajinasi

Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!

Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk ”jadi pegawai”, yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran. Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) ”bertaraf internasional” yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional.

Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini. Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian.

Kata kuncinya adalah ”kreativitas” dan ”imajinasi”; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun! Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital.

Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah. Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat ”cinta belajar” pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas ”cinta belajar”, apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.

Membangun semangat ”cinta belajar” tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam.

Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan. Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.

Yudhistira ANM Massardi Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi

Sumber: KOMPAS edisi Jumat, 8 April 2011a

Selasa, 05 April 2011

Mengantar Mas Ahmad Tirtosudiro (1922-2011): Kader Teladan Lintas Generasi

Oleh. Eko Arisandi[*]

“Adik-adik warga HMI yang saya cintai! Marilah kita menjadi muslim/muslimah yang baik, yang sejati, agar dengan demikian kita dapat menjadi warganegara yang baik dan diandalkan, penghayat dan pengamal Pancasila yang murni pula, satu dalam kata dan perbuatan.”

Kata-kata tersebut adalah pesan bagi kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari pidato Mas Achmad Tirtosudiro atas nama alumni HMI yang disampaikan dalam Dies Natalis HMI ke-40, 5 Februari 1987, di Jakarta. Pendiri dan kader terbaik HMI ini tutup usia pada Rabu, 9 Maret 2011, dalam usia 89 tahun. Secara berantai berita duka ini dikabarkan kader-kader HMI ke seluruh Indonesia. Bangsa ini kembali kehilangan putra terbaiknya. Beliau dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan iringan doa dari seluruh generasi kader HMI dan KAHMI se-Nusantara. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap konsisten dalam berpikir, bertindak, dan bersikap, seperti diungkapkan Mar’ie Muhammad (Sekeretaris Jendral PB HMI Periode 1963-1966), “Mas Achmad, adalah muslim yang baik, yang tidak perlu dipertentangkan dengan warganegara yang baik, karena keduanya dapat disatukan dalam diri beliau.”

Sang Kader Prajurit HMI

MAS Achmad Tirto kerap disapa Mas Achmad oleh semua generasi adik-adiknya di HMI. Sapaan itu menyatakan keakraban dan sikap hormat yang tulus dan mendalam dari kami semua, kader-kader HMI kepada beliau. Generasi kami adalah mahasiswa pada sekitar 2005 dan sesudahnya, sehingga dapat dipastikan sangat sedikit dari kami yang dapat bersentuhan langsung dengan beliau, termasuk hanya untuk dapat berjumpa dengan beliau. Alhasil, interaksi yang lebih memungkinkan adalah melalui membaca buku sejarah HMI. Meskipun terdapat jarak generasi yang cukup jauh dengan beliau, seluruh kader HMI terhitung sebagai adik ideologis Mas Achmad dalam geneaologi perkaderan yang tak berjarak sama sekali.

Perkenalan para kader HMI dengan Mas Achamd rata-rata ketika mereka mengikuti Latihan Kader 1 (LK 1, Basic Training HMI). Begitu seorang mahasiswa masuk HMI, maka salah satu materi pertama yang ia peroleh adalah sejarah lahirnya organisasi kemahasiswaan Indonesia terbesar ini; di ibu kota revolusi Yogyakarta pada 5 Februari1947. Di situ nama Mas Achmad pasti disebutkan selain nama-nama lain seperti HMS Mintareja, Lafran Pane, M Sanusi, Suastuti Notoyudo, Anton Timur Jaelani, dan lain-lain. Ini merupakan para pengurus PB HMI hasil keputusan Kongres I HMI 30 November 1947 dan Mas Achmad menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PB HMI.

Menyebutnya sebagai pendiri HMI sangat beralasan, (tanpa bermaksud lebih jauh membahas masalah ini) meskipun Sejarawan HMI Agussalim Sitompul membuat klasifikasi para pendiri dan perintis HMI. Kelompok pemrakarsa, yakni Lafran Pane; kelompok pendiri yang terdiri dari 15 orang; kelompok pengurus I yang disahkan pada 5 Februari 1947; dan kelompok penerus hasil kepurusan Kongres I. klasifikasi ini memasukkan nama Achmad Tirtosudiro ke dalam kelompok “penerus”. Namun, seperti diungkapkan Bang Agus sendiri, Mas Achmad sangat dikenal secara luas di kalangan HMI fase awal, terlebih karena peranannya yang sangat besar pada saat menjabat Wakil Ketua Umum PB HMI, dan secara otomatis menjadi orang nomor satu (sebagai Pejabat Ketua Umum PB HMI Periode 1948), karena MS Mintareja selaku Ketua Umum PB HMI pindah meninggalkan Yogyakarta menuju Pasundan pada saat perang kemerdekaan.

Keterlibatan Mintareja dan kawan-kawan membuat HMI mulai “merajalela” di kampus Gama dan STI. Banyak anggota Perhimpunan Mahasiswa Yogya (PMY)—pada awalnya adalah organisasi mahasiswa yang memandang negatif dan tidak setuju dengan pembentukan HMI—bergabung dengan HMI; tidak sedikit pula anggota PMY yang merangkap menjadi anggota HMI. Berangsur-angsur HMI pun mulai memegang posisi memimpin dunia kemahasiswaan, khususnya di Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Dari situ, eksistensi HMI di persada Tanah Air menyejarah. Dahlan Ranuwihardjo (Ketua Umum PB HMI Periode 1951-1953) menyebut fase ini sebagai sejarah HMI dalam “eksistensinya yang riil” dalam realitas sejarah bangsa.

Karena telah membawakan eksistensi riil yang cukup signifikan dalam sejarah bangsa, maka Mintareja dan kawan-kawan (termasuk Achmad Tirtosudiro di dalamnya) termasuk para pendiri HMI. Mas Achmad juga orang pertama dari kalangan perintis himpunan ini, yang membawa mereka “keluar” dari lingkungan kemahasiswaan masuk kepada aktivitas lain yang lebih luas dan beruang lingkup nasional yaitu PPMI. Bahkan Mas Achamad pula yang memimpin PPMI dan bertindak sebagai ketuanya.

Untuk melawan agresi militer yang dilancarkan Belanda pada 21 Juli 1947, dibentuklah Compie Mahasiswa (CM) yang berada langsung di bawah komando Markas Besar Tentara (MBT), dan Mas Achamd sebagai wakil komandannya; di sinilah karir militernya ia rintis. Menghadapi pemberontakan PKI 18 September 1948 di Madiun, Achmad Tirtosudiro menggalang kekuatan mahasiswa dengan membentuk Corps Mahasiswa (CM) selaku wakil komandan merangkap Ketua PPMI. CM dikerahkan untuk terjun langsung di medan pertempuran sebagai pasukan dan memanggul senjata, membantu pemerintah dalam menghadapi penjajah dan menumpas pemberontakan PKI.

Menjelang meletusnya G30S/PKI adalah saat-saat ekstrasulit bagi para aktivis HMI karena HMI menjadi sasaran tembak pengganyangan oleh PKI yang bermaksud membubarkan HMI. Pada saat inilah, Mas Achmad hadir kembali dalam HMI sebagai pembimbing, Pembina, dan pelindung. Berkat beliau, HMI memiliki kepercayaan diri sendiri dan rasa aman yang amat diperlukan dalam situasi yang berbahaya dan sulit diramalkan. Selaku Dewan Pertimbangan dan Penasehat PB HMI (1963-1966), seperti dikemukakan Sulastomo (Ketua Umum PB HMI Periode 1963-1966), Mas Achmad secara efektif berperan dalam “menyelamatkan HMI” di belakang layar dari “lubang jarum” pengganyangan PKI.

Pada waktu itu, HMI juga mendapat jaminan perlindungan dari Angkatan Darat, dalam hal ini melalui Jendaral A Yani, yang tersambungkan berkat komunikasi yang dirintis dan dijalin lewat kehadiran Mas Achmad. Kenyataanya, pada tingkat praktis dan operasioanl, HMI banyak mengabil pelajaran dari militer yang kemudian melalui Mas Dachlan Ranuwihardjo, HMI mendapat teori-teori taktik dan strategi serta diperkenalkan dengan pikiran-pikiran para ahli perang, seperti Sun Tzu dan Liddel Harts. Konteks sejarah ini yang kemudian membuat Ismail Hassan Metareum (Ketua Umum PB HMI Periode 1957-1960) menyebut Mas Achmad sebagai “peletak dasar hubungan HMI dan ABRI”.

Keteladan Pribadi Pengabdi

KADER prajurit HMI ini tidak sekedar berumur panjang tetapi merupakan “pribadi yang padu”, seperti diutarakan Ahmad Zacky Siradj (Ketua Umum PB HMI Periode 1981-1983) dalam merangkum gambaran dan kesan pribadinya tentang sosok istimewa ini. Mas Achmad selalu tampil dan hadir di atas semua aneka masyarakat, aliran dan golongan, terintegrasi dan berpadu dalam dirinya pribadi santri dan priyayi, militer dan umat, serta pejabat dan rakyat. Alhasil, sulit bagi siapa pun untuk melihat Mas Achmad hanya dari satu sisi.

Bagi Achamad Tirtosudiro, predikat santri bukan penghalang untuk masuk ke dalam lingkungan priyayi, dan jabatan militer juga bukan kendala untuk menyatu dengan umat, serta tanggung jawab terhadap negara dan bangsa ketika menjadi pejabat dan sebagai rakyat sama saja. Sikap dan pembawaannya yang lentur tidak membuatnya kehilangan pendirian dan ketegasan. Justru dari sifat dan sikap itulah, terlihat keteguhan, kekokohan, dan kegigihan dalam menemukan dan melakukan sesuatu.

Pribadi ini juga digambarkan Sulastomo sebagai sosok yang disiplin dalam segala bidang, bersungguh-sungguh di dalam bidang pekerjaan yang menjadi tugasnya, memegang teguh prinsip atau keyakinan yang dipercayainya, tetapi dapat eksis di dalam lingkungan yang beraneka ragam dan berubah dengan cepat. Sosok yang konsisten ini dapat berperan dalam lingkungan yang berbeda tanpa mengubah jadi dirinya.

Sikapnya yang teguh dan konsisten memegang prinsip yang diyakininya, sehingga apa yang ia rasakan benar dan baik, teramat sulit baginya untuk ditutupi. Sikap seperti ini (bagi orang lain) menimbulkan kesan rutinitas dan bisa saja dianggap sebagai sikap yang kaku dan otoriter. Kesan otoriter diceritakan oleh Aditya putra beliau, “Ayah secara tidak terduga, ‘menunjuk’ lalu menetapkan siapa di antara putra-putrinya, bahkan cucu-cucunya yang akan mengumandangkan azan ketika salat tiba, lalu kami diajak berjamaah. Menolak ajakan tanpa alasan, tidak pernah terpikir dalam benak kami. Selain malu, itu memang tidak patut kami lakukan.” Dan sekarang lanjut Aditya, “Kami pun meniru dan juga menerapkan ‘telunjuk’ di rumah terhadap anak-anak kami sendiri.”

Ada pula cerita menarik seperti dikisahkan oleh Almarhrum Pak Bus (Bustanil Arifin, Kepala Bulog dan Menteri Koperasi dan UKM 1978-1993). Pernah suatu hari Pak Bus bersama Mas Achamad menghadiri rapat bidang Ekuin dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tetapi, karena Sri Sultan sedang ada tamu, rapat belum bisa dimulai sesuai jadwal yang seyogianya dimulai pukul 10.00. Setelah setengah jam menunggu, Mas Achmad menghampiri Pak Bus dan berkata, “Mari kita pulang!” dan Pak Bus kemudian bangkit dan mengikuti dengan perasaan hampir-hampir tidak pecaya dengan apa yang didengarnya. Demikianlah, sifat disiplin yang dimiliki Mas Achmad, ternyata juga ia terapkan kepada semua kalangan, baik di lingkungan keluarga, tempat kerja atau relasi kerja lain dan bahkan orang-orang yang (barangkali) dalam ukuran orang kebanyakan tidak layak diperlakukan seperti itu. Secara tidak terduga, kedekatan pribadi dan kebersamaan kedua Purnawirawan Jendaral dan Mantan Kabulog ini seakan terjalin sampai keduanya menghadap Sang Pencipta dalam waktu yang hampir bersamaan (Pak Bus wafat pada Minggu, 13 Februari 201, beberapa minggu sebelumnya).

Mas Achmad juga disebut bermental “sepeda”, terus bergerak, berjalan; sebab berhenti berarti jatuh, rubuh. Tokoh pejuang kemerdekaan Letnan Jendral Purnawirwan bintang tiga kelahiran Plered 8 April 1922 ini, memiliki rekam jejak pengabdian yang panjang dan telah mengemban tugas di beberapa bidang. Beliau pernah menjabat Direktur CIAD (Corp Intendans Angakatan Darat), Ketua Bulong pertama masa Orde Baru 1966, Duta Besar RI di Jerman (1973-1976) dan Kerajaan Saudi Arabia, Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (1999-2003), beliau juga ikut mendirikan sekaligus Pejabat Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) (1997-2000).

Dalam usianya yang semakin senja, seperti pernah diutarakan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI Periode 1966-1969 dan 1969-1971), justru Mas Achmad makin banyak mendapat kepercayaan di bidang pendidikan, keilmuan, dan keuniversitasan. Selain sebagai salah seorang pendiri Yayasan Wakaf Paramadina yang dipimpinnya, Mas Achamd juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba, 1986-1995) yang menurut Nurcholish membawa kemajuan luar biasa bagi perguruan tinggi ini. Beliau juga menjabat Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS), di samping berbagai jabatan yang lain. Jelas pengalaman Mas Achmad dan kapasitas pribadinya telah mendukung semua keberhasilan yang mengesankan. Sehingga pantas bila kemudian beliau dikenal sebagai orang yang tak mengenal lelah; atau militer yang tak pernah pensiun.

Warisan Perkaderan

PADA Peringatan Dies Natalis ke-18 HMI, 5 Februari 1965, saat HMI sedang gencar-gencarnya mendapat tekanan dari PKI yang ingin membubarkan HMI, Mas Achmad mengungkapkan kembali pidato Jederal Sudirman Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia yang disampaikan pada peringatan Dies Natalis I HMI di Bangsal Kepatihan Yogyakarta tanggal 6 Februari 1948: bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan hanya kepanjangan dari “Harapan Masyarakat Islam” tetapi juga “Harapan Masyarakat Indonesia”.

Ada dua hal sekurang-kurangnya yang dianggap penting kenapa Mas Achmad mengemukakan ungkapan Pak Dirman ini. Pertama, huruf “H” yang diberi kepanjangan “harapan”, artinya HMI harus memiliki tujuan yang jelas, program yang terencana, serta sanggup memelihara kegiatan-kegiatan sebagai usaha pencapaian tujuan. Kedua, “Masyarakat Islam dan Masyarakat Indonesia” menjadi sesuatu yang tidak boleh dipisahkan, tetapi harus berada dalam suatu kesatuan atau berada dalam satu tarikan nafas. Ini berati juga HMI dapat diberi kepanjagan “Harapan Masa-depan Islam” dan sekaligus juga harus menjadi “Harapan Masa-depan Indonesia.”

Keteladan kepemimpinan Mas Achmad, antara lain dikemukakan Bintoro Tjokroamidjojo, yaitu: pertama, pengabdian dengan semangat yang Islami, tetapi dengan wawasan bagi seluruh bangsa dan kedua, upaya yang tak kenal lelah, tak kenal henti, tanpa pamrih dalam membina kader, dalam mengembangkan potensi intelektual muslim Indonesia. Bahwa pengalaman hidup yang bernapaskan Islam itu dapat diabadikan bagi dan dalam pembangunan kesejahteraan bangsa keseluruhannya. Mas Achmad juga berupaya selalu agar “manusia akademis dan intelektual yang bernapaskan Islam” ini mempunyai tempat dan peran yang dihargai dalam kancah kehidupan masyarakat Indonesia.

Keunggulan pribadi Mas Achmad adalah ia sanggup tampil melalui orang lain, menyiapkan kader-kader pelanjut yang dalam banyak sisi dapat melanjutkan visi dan misinya. Ini sesungguhnya sesuai dengan kepribadian HMI sebagai organisasi pengkaderan. Mas Achmad adalah sosok pribadi HMI, tempat banyak orang menggantungkan harapan, sebagai seorang yang dikader di HMI, kemudian ia sanggup mengkader yang lain dalam meniti karier hidupnya. Inilah kemudian yang membuat banyak pihak yang menilai dirinya sebagai orang yang berhasil merealisasikan pekaderan HMI dalam bentuk nyata dan sungguh-sungguh. Beliau sangat berani dan tidak merasa risih atau khawatir dicap sebagai fanatik golongan. Memang orientasi yang ia kembangkan adalah orientasi kualitatif yang sesuai dengan tuntutan HMI dan sejalan dengan ajaran agama.

Di atas semuanya, HMI sebagai organisasi kemahasiswaan, telah membuktikan dirinya mampu memberi sumbangan yang terbaik dalam proses-proses pertumbuhan strategis bangsa Indonesia. Meminjam sebuah metafor dalam Kitab Suci (QS Shaff [61]: 4), HMI adalah barisan para pejuang yang bagaikan bangunan yang kokoh; dalam dimensi horizontal meliputi seluruh negeri dan dalam dimensi vertikal mencakup semua bidnag kehidupan nasional. Atau metafor lainnya (QS Ibrahim [14]: 24), HMI sebagai perwujudan “kalimah” atau ide-ide yang baik dan cabangnya mencakar ke langit, setiap kali menyajikan buah-buahan yang bermanfaat dengan izin Allah. Salah satu peletak batu pertama bangunan kokoh itu yang kemudian ikut merawatnya dengan tekun adalah Mas Achmad. Begitu pula, Mas Achmad adalah salah seorang yang menggali tanah, menanam biji pohon HMI, yang kemudian dengan penuh perhatian menyirami dan memberi pukuk.

Akhirul kalam, seperti pernah Mas Achmad sendiri ungkapkan, “Mudah-mudahan apa yang pernah dirintisnya dapat terus-menerus dilanjutkan secara tulus, jujur, dan ikhlas bagi kepentingan bangsa, negara, dan agama oleh generasi-generasi berikutnya”. Selamat jalan Mas Achmad, kader HMI teladan lintas generasi. Semangat, pengabdian, dan dharma baktimu adalah teladan, inspirasi, dan motivasi bagi kader-kader HMI lintas generasi. Allahumma‘ghfir lahu, warhamhu, wa ‘afihii wa’fu ‘anhu.


[*] Penulis adalah Ketua Bidang Pembinaan Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat Periode 2010-2011.

Selasa, 25 Januari 2011

DIPLOMASI, LOBI, DAN NEGOSIASI

BAB I
A. Hubungan antara diplomasi, lobi,dan negosiasi
Sebelum diskusi tentang hubungan antara diplomasi, lobi, dan negosiasi lebih jauh. Maka, alangkah baiknya jika kita kaitkan dengan ilmu komunikasi. Salah satunya adalah public relations (PR), banyak definisi yang menjelaskannya, diantaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh Institute of PR (Zaenal Abidin) menyebutkan, praktek PR sebagai disiplin ilmu dan serangkaian uusaha untuk menjaga reputasi dengan tujuan memperolah pengertian atau pemahaman dan dukungan serta mempengaruhi opini dan perilaku.
Definisi PR seperti dikutip Rhenald kasali (1994) dari John E.Marston, menyebutkan, “Public Relations is planned, persuasive communication designed to influence significant public”. Dengan kata lain pekerjaan seorang PR harus direncanakanm bentuk komunikasinya adalah komunikasi persuasif yang didesain untuk mempengaruhi khalayak sasaran dari pekerjaan PR.

Biasanya seorang PR selaku komunikator persuasif, tak berlaku lagi, dia harus memeliki suatu perencanaan dalam setiap langkahnya, harus mempunyai tujuan yang terstruktur, adanya evaluasi, untuk kemudian dilakukn peningkatan dan perbaikan guna tercapai tujuan organisasi.
Seorang PR tentunya merupakan salah satu bagian yang sangat penting untuk melakukan hubungan baik. Sesorang PR harus memiliki kemampuan diplomasi, lobi, dan negosiasi. Bagaimana mengkomunikasikan pesan-pesan organisasi diteima baik oleh publiknya, citra baik organisasi agara tetap terjaga reputasinya dan terus meningkat. Kegiatan PR juga berlaku untuk negara dalam hal ini pemerintah, bagaimana pesan-pesan diplomasi itu sampai dan diterima, untuk perusahaan bagaimana agar pesan-pesan produksi itu sampai kepada konsumen. Dari keseluruhan tugas-tugas pokok tersebut kemampuan diplomasi, lobi, dan negosiasi menempati tempat yang sentral, sebab komunikasi yang dilakukan oleh setiap bidang tidak harus bersifat formal. Komunikasi informal bisa digunakan, sifatnya harus bisa dipergunakan sama baiknya dengan komunikasi formal, bahkan untuk iklim di negara kita Indonesia kadang bentuk komunikasi informal yang sangat dominan.

Dewasa ini, konsep Diplomasi, Lobi, dan Negosiasi adalah merupakan suatu keharusan. Karena pergaulan sosial kemasyarakatan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional memerlukan diplomat, pelobi-pelobi dan negosiator yang yulung tentunya, untuk dapat mencegah tidak terjadi dan berkembangnya suatu konflik yang berkepanjangan yang pada gilirannya menjadi suatu bentrokan fisik, bahkan peperangan. Untuk itu mari kita diskusikan apa yang di maksud dengan Diplomasi, Lobi, dan Negosiasi. Lalu bagaimana hubungan ketiganya?

a. Diplomasi
Diplomasi berasal dari kata Yunani “diploun” yang berarti “melipat”. Menurut the Chamber’s Twenthieth Century Dictionary, diplomasi adalah “the art of negotiation, especially o treaties between states; political skill.” (seni berunding, khususnya tentang perjanjian di antara negara-negara; keahlian politik). Di sini, yang pertama menekankan kegiatannya sedangkan yang kedua meletakkan penekanan seni berundingnya. Ivo D. Duchachek bependapat, “Diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu negara dengan cara negosiasi dengan negara lain. Tetapi diplomasi kadang-kadang dihubungkan dengan perang. Oleh karena itulah Clausewitz, seorang filolsof Jerman, dalam pernyataannya yang terkenal mengatakan bahwa perang merupakan kelanjutan diplomasi melalui sarana lain.

Dalam mengkaji definisi-definisi yang telah disebut di atas, beberapa hak tampak jelas. Pertama, jelas bahwa unsur pokok diplomasi adalah negosiasi. Kedua, negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan negara. Ketiga, tindakan-tindakan diplomatik diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan sarana damai.

Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa “diplomasi, yang sangat erat dihubungkan dengan hubungan antar negara, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.”

Tujuan-tujuan diplomasi itu sendiri disesuaikan dengan ranahnya. Secara politik, tujuan diplomasi adalah untuk mencapai tujuan-tujuannya secara damai. Secara ekonomi, tujuan diplomasi adalah untuk mengamankan kepentingan ekonomi itu sendiri. Secara ideologis, tujuan diplomasi dalah untuk melestarikan sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam suatu negara, mencoba menyebarkan sistem-sistem suatu negara ke negara lain, dan untuk menghalangi penyebaran sistem politik, ekonomi, dan sosial negara saingannya. Definisi di atas tadi mengungkapkan beberapa hal yang penting sehubungan dengan tujuannya. Kautilya menekankan empat tujuan utama diplomasi yaitu acquisition (perolehan), preservation (pemeliharaan), augmentation (penambahan), dan proper distirbution (pembagian yang adil)

b. Lobi
Di luar negosiasi, ada aktivitas lain dari kedua pihak untuk saling mempengaruhi. Tujuan aktivitas ini adalah agar satu pihak terpengaruh dan mau menerima apa yang menjadi keinginan pihak lain. Aktivitas ini dikenal dengan istilah lobbying. Lobbying merupakan bagian dari proses negosiasi yang tidak terpisahkan. Karena untuk mencapai kesepakatan dalam negosiasi, me-lobby ini ternyata lebih efektif meskipun terkadang cara yang mereka lakukan tidak bermoral.

Secara umum istilah lobby mempunyai dua pengertian, yaitu ruang tunggu di gedung atau umum, dan kelompok yang cari muka untuk mempengaruhi anggota parlemen. Pengertian yang terakhir sering dikonotasikan negatif.
Ketika masa rehat di ruang tunggu gedung parlemen, beberapa anggota ada yang membahas ulang materi sidang atau rapat. Pembahasan ini biasanya ada yang bertujuan untuk saling mempengaruhi sesama anggota parlemen dari fraksi lain, dalam berebut pengaruh ini, tentunya didasari oleh berbagai alasan, termasuk di dalamnya kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Terlepas dari berbagai kepentingan ini, anggota parlemen yang mencoba mempengaruhi pembuat undang-undang disebut juga lobbyist, sedangkan kegiatannya dikatakan lobbying. Jadi, secara umum istilah lobbying adalah suatu kegiatan anggota parlemen untuk mempengaruhi pembuat undang-undang.

Namun demikian, kegiatan lobbying ini tidak terbatas pada kegiatan anggota parlemen saja. Ia bisa dilakukan oleh orang pada umumnya untuk suatu tujuan tertentu, misalnya saja untuk memenangkan tender pekerjaan atau pertemuan dalam rangka memasarkan produk. Dengan demikian, pengertian tadi bisa diperluas lagi menjadi suatu kegiatan orang-orang yang berusaha mempengaruhi orang lain untuk suatu tujuan tertentu. Pengertian ini sedikit lebih ekstrim karena tujuannya adalah mempengaruhi orang lain. Pengertian ini berbeda dengan provokasi yang juga berusaha mempengaruhi atau untuk memancing suatu perbuatan yang mungkin dapat berakibat buruk bagi orang lain.

c. Negosiasi
Negosiasi (Negotiation) dalam arti harfiah adalah negosiasi atau perundingan. Negosiasi adalah komunikasi timbal balik yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Negosiasi memiliki dua arti, yaitu:
1. Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;
2. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Menurut Stephen Robbins dalam bukunya “ Organizational Behavior” ( 2001), negosiasi adalah proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut. Sedang dalam komunikasi bisnis, negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan. Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala :

Kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan.
Terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak. Keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain. Kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ?

Menurut Arbono Lasmahadi (2005), upaya negosiasi tidak diperlukan manakala :
1. Persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak,
2. Salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain.
3. Negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi.

Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain : Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi?
Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan?
Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan?
Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :

BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement) , yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan. Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi.

ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.

Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan.

Secara ringkas dapat dirumuskan, bahwa negosiasi adalah suatu proses perundingan antara para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang sesuatu permasalahan.

d. Kaitan antara diplomasi, lobi, dan negosiasi
Walaupun bentuknya berbeda, ketiganya ini merupakan sebuah keharusan yang harus dimiliki oleh seorang komunikator atau seseorang yang bekerja sabagi humas. Namun esensi Diplomasi, Lobi, dan Negosiasi mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai sesuatu target (objective) tertentu.

Diplomasi harus diperankan oleh seorang diplomat handal dan mempunyai komunikasi yang tinggi, kegiatan ini biasanya terjadi dalam kegiatan luar negeri antar negara. Lobi-lobi atau negosiasi harus diperankan oleh Pelobi (Lobyiest) yang mahir dan mempunyai kemampuan berkomunikasi yang tinggi (komunikabilitas). Hanya saja “Negosiasi” merupakan suatu proses resmi atau formal, sedangkan Lobi; merupakan bagian dari Negosiasi atau dapat pula dikatakan sebagai awal dari suatu proses Negosiasi.

Dewasa ini upaya lobi-melobi bukan lagi monopoli dunia politik dan diplomasi, tetapi juga banyak dilakukan para pelaku bisnis, selebritis dan pihak-pihak lain termasuk PNS rendahan. Istilah Lobi yang berarti teras atau serambi ataupun ruang depan yang terdapat pada suatu bangunan atau hotel-hotel yang dijadikan sebagai tempat duduk tamu-tamu. Sambil duduk-duduk dan bertemu secara santai, seraya berbincang-bincang untuk membicarakan sesuatu mulai dari hal yang ringan-ringan sampai EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya, kepada masalah politik dan pemerintahan dalam negeri bahkan luar negeri, baik dalam rangka pendekatan awal sebelum pelaksanaan negosiasi maupun secara berdiri sendiri untuk kepentingan lobi itu sendiri. Biasanya lobi-lobi dilakukan sebagai pendekatan dalam rangka merancang sesuatu perundingan. Apabila lobi berjalan mulus diyakini akan menghasilkan perundingan yang sukses. 5. Negosiasi sebagai suatu Fungsi dan Sarana Istilah Negosiasi sebenarnya berawal dari dunia diplomasi yaitu dunia yang digeluti oleh para diplomat (Dubes, Duta, Kuasa Usaha, Konsul, dan lainlain) dalam melakukan kegiatan sesuai kepentingan negaranya di negara mana mereka bertugas.

B. Model hubungan antara diplomasi, lobi, dan negosiasi
Diplomasi merupakan seni berunding, seni berembuk, cara menyampaikan suatu pesan atau tujuan melalui pembicaraan atau perundingan. Diplomasi dapat dilakukan secara resmi (formal) maupun tidak resmi (non formal). Seni berdiplomasi tegantung kepada kemampuan individual seorang diplomat, intinya adalah negosiasi itu sendiri. Diplomasi dilakukan jika terdapat konflik atau perbedaan dalam kepentingan suatu negara atau kelompok. Contoh, konflik 2 negara serumpun antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini saling bersitegang dalam persoalan batas teroterial negara, kasus ambalat, TKI, dan warisan budaya (wayang, batik, dll). Dari permasalahan tersebut kemudian dilakukan diplomasi antar kedua negara untuk mencapai kesepahaman agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Adapun model atau jenis diplomasi. Menurut S.L Roy antara lain :
1. Diplomasi komersial (perdagangan)
2. Diplomasi demokratik
3. Diplomasi totaliter
4. Diplomasi (melalui) konferensi
5. Diplomasi diam-diam
6. Diplomasi Preventif
7. Diplomasi sumber daya

Adapun dalam wikipedia menyebutkan jenis atau model diplomasi antara lain :
1. Diplomasi koboi
2. Diplomasi transformasional
3. Diplomasi informal
4. Diplomasi publik
5. Diplomasi preventif
6. Diplomasi ping-pong,
7. Paradiplomasi

Bila dikaitkan dengan kegiatan negosiasi, negosiasi adalah merupakan salah satu fungsi utama dari para Diplomat. Oleh karena itu, dalam pergaulan internasional hampir setiap negara menempatkan diplomat-diplomatnya di negara-negara sahabat. Meskipun istilah dan praktik negosiasi berawal dari dunia diplomasi, namun dewasa ini sudah menjadi sarana pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam dimensi eksternal maupun dimensi domestik.

Kata kunci negosiasi adalah seperti di bawah ini:
a. Negosiasi diplomatik
b. Negosiasi perdagangan internasional (bilateral maupun multilateral)
c. Negosiasi global (seperti negosiasi sengketa utara & selatan)
d. Negosiasi antara buruh dan majikan
e. Negosiasi antara penjual dan pembeli
f. Negosiasi antara dua korporasi yang ingin melakukan merger atau aliansi strategik.
g. Negosiasi pembentukan joint venture
h. Negosiasi mengenai investasi langsung (direct investment)
i. Negosiasi pilkada
j. Negosiasi pemenangan tender, dan sebagainya.

Negosiasi juga terdapat dua model, yaitu :
1. Negosiasi distributif (kompetitif), negosiasi ini lebih menekankan pada prinsip kalah dan menang bagi kedua belah pihak yang terlibat pada kegiatan negosiasi. Tidak peduli terhadap kepentingan atau kepuasan orang lain; mengorbankan orang lain, dan berorientasi pada hubungan jangka pendek. Ciri-ciri negosiator distributif antara lain :
a. Tawaran awal tidak masuk akal (ekstrem)
b. Kewenangan terbatas
c. Mempermainkan emosi lawan
d. Pantang memperlihatkan kelemahan
e. Hampir tidak memberikan kelonggaran
f. Mengabaikan batas waktu

2. Negosiasi integratif (kooperatif), negosiasi ini lebih mengedepankan prinsip menang dan menang antara kedua belah pihak yang terlibat pada kegiatan negosiasi. Kegiatan ini lebih memperhatikan kepentingan dan kepuasan orang lain dan berorientasi pada hubungan jangka panjang. Adapun ciri-ciri negosiator integratif antara lain:
a. Menyesuaikan diri dengan kebutuhan orang lain
b. Mencari titik temu dari setiap perbedaan
c. Menyelaraskan setiap perbedaan.

Lobi memiliki beberapa karakteristik yaitu bersifat informal dalam berbagai bentuk, pelakunya juga beragam, dapat melibatkan pihak ketiga sebagai perantara, tempat dan waktu fleksibel dengan pendekatan satu arah oleh pelobi. Ada beberapa cara untuk melakukan lobi baik yang legal maupun ilegal, secara terbuka maupun tertutup/rahasia, secara langsung ataupun tidak langsung. Sebagai contoh: upaya penyuapan dapat dikategorikan sebagai lobi secara langsung, tertutup dan ilegal. Lobi semacam ini jelas melanggar hukum, namun karena bersifat tertutup/rahasia, agak sulit untuk membuktikannya (contoh: kasus-kasus lobi pemenangan tender dengan pendekatan gula-gula/wanita, seperti yang sering diberitakan diberbagai mass media).


BAB II
A. Efektivitas lobi dan negosiasi dalam memecahkan masalah setiap konflik
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa negosiasi bisa saja terjadi apabila aktivitas Iobbying mendapat respon dari pihak lain. Jika pihak lain tidak menanggapi pendekatan yang anda lakukan, maka negosiasi tidak akan terjadi. Sebaliknya, negosiasi bisa terjadi karena adanya konflik, dan lobbying ada di dalamnya untuk mengurangi konflik. Anda sebagai pemuka masyarakat tentunya berkeinginan mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Dan anda pun mengundang dua pihak tersebut, untuk duduk bersama membicarakan duduk permasalahannya. Namun, kedua pihak tidak juga segera berdamai karena masing-masing pihak merasa pendapatnyalah uang benar.

Untuk mencegah meluasnya konflik yang berujung pada tindak kekerasan, anda mengutus seseorang yang dapat dipercaya dan netral. Biasanya anda pilih dari orang-orag terdekat anda. Utusan anda itu akan masuk ke salah satu pihak dan mencoba melakukan pendekatan persuasif atau dengan cara kekluargaan agar diperoleh informasi yang akurat mengenai masalah yang menjadi penyebab pertikaian. Utusan anda ini tidak melakukan negosiasi karena karena dia tidak mempunyai konflik dengn mereka, melainkan dia hanya menawarkan solusi kreatif pada masing-masing pihak. Jika solusi kreatif utusan anda diterima oleh satu pihak, maka utusan anda pun harus menawarkan solusi yang sama pada pihak lain agar dicapai kesesuaian solusi dengan pihak lain. Demikian pula dengan anda yang mengutus seseorang itu. Dia harus menyampaikan hasil perkembangan lobby yang dia lakukan. Di sini utusan anda memainkan peran bukan sebagai penengah, tetapi sebagai penghubung dari pihak-pihak yang bertikai. Ketidakberpihakannya itulah yang menjamin mereka mengeluarkan seluruh perasaan dan permasalahnnya.

Jika kedua pihak yang bertikai itu telah menerima solusi kreatif yang anda tawarkan melalui utusan anda, bisa dipastikan kedua pihak akan duduk bersama dan menerima solusi perdamaian yang anda tawarkan.
Efektivitas lobi dan negosiasi tentunya sangat ditentukan oleh lobbyiest dan para negosiator. Tentunya efektivitas ini dapat dilihat dari kondisi dan situasi masalah serta hasil dalam memecahkan masalah dalam konflik.

B. Proses negosiasi dan lobi langkah-langkah negosiasi yang efektif.
Dalam proses negosiasi dan lobi tentunya harus memiliki stragtegi atau teknik serta langkah-langkah yang efektif, agar sebuah proses negosiasi dan lobi tentunya berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan.

a. Strategi Dalam Bernegosiasi
Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut :
1. Win-win. Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation.
2. Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
3. Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
4. Lose-win. Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka.

b. Taktik Dalam Negosiasi
Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator.
1. Membuat agenda. Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan.
2. Bluffing. Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar.
3. Membuat tenggat waktu (deadline). Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan.
4. Good Guy Bad Guy .Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat’ dan “baik” pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
5. The art of Concesión .Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi Intimidasi. Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak.

c. Perangkap Dalam Negosiasi
Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya “The Mind and the Heart of Negotiation”, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama , yaitu :
1. Leaving money on table (dikenal juga sebagai “lose-lose” negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan “win-win” solution.
2. Setting for too little (atau dikenal sebagai “kutukan bagi si pemenang”), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh.
3. Meninggalkan meja perundingan , yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan.
4. Setting for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain.

d. Proses Negosiasi dan Lobi
Berikut proses negosiasi :
1. Persiapan
2. Memulai langkah strategis
3. Diskusi dan komunikasi
4. Melakukan pengukuran :
a. Diri
b. Lawan
c. Situasi
d. Pengembangan strategi
e. Penutup dan kesepakatan
f. Pasca kesepakatan



BAB III
A. Penutup
Dari paparan diatas tadi, bahwa efektifitas kegiatan diplomasi, lobi, dan negosiasi tentunya kita dapat melihat bahwa kegiatan tersebut merupakan sebuah keharusan global dalam dinamika kehidupan individu dan kelompok. Kegiatan tersebut merupakan sebagai alat utnuk menjembatani setiap permasalahan atau konflik yang terjadi di sekitar kita, yang mana kita sebagai individu atau kelompok harus memiliki kemampuan untuk memecahkan setiap permasalahan atau konflik yang ada. Konflik sering terjadi itu biasanya atas dasar permasalahan negara, kelompok, bahkan individu. Efektifitas diplomasi, lobi, dan negosiasi akan berhasil jika setiap individu dan kelompok dapat memberikan solusi kreatif dalam memecahkan permasalahan atau sengketa yang ada.

Para pelaku kegiatan tersebut, juga harus memiliki kemampuan handal. Biasanya pelaku kegiatan ini adalah orang yang bekerja pada bidang humas atau public relations. Tentunya individu yang terlibat dalam kegiatan ini harus communicatable (handal dalam berkomunikasi). Mereka harus memiliki strategi dan taktik dalam melakukan diplomasi, lobi, dan negosiasi.



B. Daftar Pustaka


Hermawan, Herry. Dr,S.Sos,SS,M.Si. Reading Kit (Slide Presentation) Mata Kuliah Diplomasi dan Negosiasi, MIKOM, Pasca Sarjana Univ. Muhammadiyah Jakarta, 2011

Nasution, Rusly ZA, Kemampuan Lobi dan Negosiasi Menjadi Suatu Keharusan, EDUCARE: Jurnal Pendidikan Budaya. 2011

Olil, Helena, Dra, MM, Teknik Lobi & Negosiasi, Modul Hubungan antar Lobi, Diplomasi, dan Negosiasi, Pusat Pengembangan Bahan Ajar – Universitas Mercu Buana, Jakarta, 2008.

Partao, Zainal Abidin, Teknik Lobi dan Diplomasi Untuk Insane Public Relations, Gramedia, Jakarta, 2006

Sunar Prasetyono, Dwi. Seni Kreatif Lobi dan Negosiasi, Merancang Kiat-Kiat Sukses Lobi dan Negosiasi Untuk Segala Kepentingan Anda (Dari Bisnis, Karir hingga Politik). Penerbit Think, Yogyakarta, 2007

ULAMA DAN JAWARA : PERAN DAN POSISINYA DALAM DINAMIKA SOSIAL POLITIK DI BANTEN


A. PENDAHULUAN

Semenjak Pemerintahan Kolonial Belanda menaklukan Kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyatnya terhadap pemerintah kolonial dan aparatnya tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama, bersifat agresif dan bersemangat memberontak.[1]

Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di antara unsur-unsur yang merupakan ramuan yang membentuk kebudayaan mereka, yakni hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu – Jawa. Islam mengalami penetrasi yang sangat dalam pada masyarakat Banten.[2]

Dalam daerah yang sangat terkenal ketaatannya terhadap agama seperti daerah Banten sudah sewajarnya jika Ulama menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat. Ulama yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak saja dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik. Kekuasaan Ulama seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan[3].

Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam[4]. Dengan keunggulan yang dimilikinya tersebut jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magis..

Dinamika politik di Banten mulai terlihat pada masa revolusi pada tahun 1945-1949 setelah kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kaum ulama atas pilihan rakyat secara serentak segera menduduki jabatan-jabatan di jajaran pemerintahan,terutama kepamongprajaan. Penggantian itu dilakukan setelah melihat para pejabat lama diam saja, bahkan berada dalam kebingunan, setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proses penggantian itu terus berlangsung setelah “Dewan” Pimpinan Ce Mamat terbentuk dan melakukan aksinya.

Hal inilah yang kemudian menarik bagi penulis untuk mengetahui sejauh mana sepak terjang ulama dan jawara dalam proses demokrasi di Banten sserta pengaruhnya terhadap masyarakat. Yang mana kita tahu bahwa uraian di atas tadi menunjukkan betapa pentingnya peran ulama dan jawara di dalam proses politik di Banten

B. PEMBAHASAN

a. Dinamika Sosial Politik Banten

Pada dasarnya manusia itu tidak mungkin dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan manusia lain untuk berinteraksi demi memenuhi kebutuhan hidupnya, baik pada segi-segi fisiologi, psikologi, maupun sosiologi. Dengan demikian, disebabkan adanya kebutuhan untuk bergaul dengan manusia lain itulah, terjadilah dinamika sosial. Gilirannya, tercipta kelompok-kelompok sosial yang masing-masing di antaranya memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Tentu saja buntutnya, tumbuh persaingan, lahir kompetisi, saling adu strategi, bahkan pada akhirnya muncul pula sikap-sikap saling mendominasi atau saling menguasai di antara kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri.

Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. (Dr Rusadi Kantaprawira, SH, 2002 :22) Persepsi budaya politik sering diberi arti sebagai peradaban politik yang digandengkan dengan prestasi dalam bidang peradaban dan teknologi. Hal ini terlihat pula dari lingkup budaya politik yang meliputi: pola orientasi individu, yang diperoleh dari pengetahuan yang luas maupun yang sempit; orientasinya yang dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, keterlekatan ataupun penolakan; orientasi yang bersifat menilai terhadap objek, dan peristiwa politik, hal tersebut dinilai sebagai peradaban daripada sebagai kebudayaan. Oleh karena budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik

dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan, dan wewenang.

Hubungan budaya politik dengan perilaku politik menurut Robert K. carr (et.al) dirumuskan bahwa perilaku politik adalah suatu telaah mengenai tindakan manusia dalam situasi politik . Situasi politik meliputi; pengertian repons emosional berupa dukungan maupun simpati kepada pemerintah, respon terhadap perundang-undangan dan lain-lain. Suatu model budaya politik tertentu tidak dapat dihubungkan secara kekar dengan suatu sistem politik tertentu. Budaya politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga: a). Budaya politik parokral ( parochial political culture) adalah budaya politik yang terbatas pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya propinsial dan adanya kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau keuasaan politik dalam masyarakatnya, b). Budaya politik kaula (subject political culture) adalah dimana anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian, mungkin pula kesadaran, terhadap sistem sebagai keseluruhan terutama terhadap segi output dan orientasi mereka yang nyata terhadap objek politik dapat terlihat dari pernyataannya, baik berupa kebanggaan, ungkapan sikap mendukung maupun sikap bermusuhan terhadap sistem, terutama terhadap aspek outputnya, dan c). Budaya politik partisipan (participant political culture) adalah ditandai oleh adanya perilaku yang berbeda perilaku sebagai kaula dimana seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menaggung kewajibannya. [5]

Budaya politik sebagai salah satu unsur atau bagian kebudayaan merupakan satu diantara sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik. Dalam kultur politik itu sendiri berinteraksi antara lain sejumlah sistem : sistem ekologi, sistem sosial, dan sistem kepribadian yang tergolong dalam kategori lingkungan masyarakat, maupun lingkungan luar masyarakat, sebagai hasil kontak sistem politik dengan dunia luar.

Dinamika politik di Banten sendiri itu bisa dilihat dari gambaran umum budaya local itu sendiri. Pada uraian pendahuluan di atas tadi bahwa dinamika social politik di Banten sudah di mulai sejak masa revolusi (1945-1949). Di mana ulama dan jawara merupakan dua symbol yang erat kaitannya dengan budaya local di Banten sangat mempengaruhi prosses dinamika politik di Banten itu sendiri. Pada penerapannya politik di Banten sendiri masih lekat dengan dominasi Jawa dilihat dari letak goegrafisnya yang cenderung mengedepankan konsep “halus”, menjunjung tinggi ketenangan sikap, dan mengedepankan kebersamaan

Heinelt dan Wollmann (1991) mendefinisikan politik lokal sebagai suatu sense dalam pembangunan dan penghargaan secara sosial yang berupa keputusan-kepurusan dalam sistem interaksi berdasarkan fisik dan ruang sosial. Sementara Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah).

Berbicara tentang politik lokal akan terkait dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Di mana kekuasaan itu tidak hanya didasarkan pada kemampuan tetapi juga oleh faktor lain yang memiliki kaitan dengan keberadaan masyarakat atau daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu ada dua faktor yang mempengaruhi kehidupan politik lokal masyarakat Indonesia, pertama munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik, sebagai salah satu indikasi penguatan identitas terhadap wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia yang kaya akan identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bisa memperkuat pluralisme (Abdilah, 2002) Sementara Giddens (2000) menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Ia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari makna “bangsa kosmopolitan” yang sesungguhnya.

Kedua, Kehadiran masyarakat dalam wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dari perluasan arena gerakan rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan kebijakan daerah sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut diharapkan bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh sebab itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara pertumbuhan otoritas pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal untuk melakukan stabilitas ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program pembangunan (Mac Andrew, 1986).

Dinamika poltik di Banten semakin bergejolak sejak runtuhnya rezim orde baru. Pemekaran daerah Banten yang berpisah dari Jawa Barat Tahun 2000 memberikan sinyal positif bagi masyarakat Banten, selain itu didukung pula dengan kebijakan pemerintah pusat tentang otonomi daerah, yang dikemas dengan rangkaian pesta demokrasi di masing-masing daerah seperti Banten itu sendiri. Dari proses inilah setidaknya pendidikan politik masyarakat diuji, sehingga dapat dilihat perilaku politik, budaya politik dan dinamika social politik itu sendiri dilihat.

b. Peran Ulama dan Jawara dalam dinamika Politik di Banten

Banten tidak bisa dilepas dari dua kata kunci utama yaitu Ulama dan Jawara dilihat dari sisi budaya yang mengedepankan nilai-nilai religious keagamaan (ulama) serta kehormatan (jawara). Maka sangatlah wajar jika keduanya sering disebut sebagai tokoh kharismatik di banten. Seperti telah di uaraikan pada pendahuluan tadi bahwa Ulama menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat. Ulama yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak saja dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik. Kekuasaan Ulama seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan[6]. peranan yang dimainkan oleh ulama dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang ulama adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik ulama dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Jika dilihat secara umum maka peran social ulama di Banten adalah sebagai tokoh masyarakat kelas elit masyarakat, guru, penentu kebijakan, dan pemimpin.

Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar” terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten.

Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.[7]

Seiring berjalannya proses demokrasi sejak pemili 1999 sampai saat ini, peran ulama dan jawara dalam partisipasi politik di Banten tidak pernah redup. Hal ini dapat dilihat bahwa ulama dan jawara masih menjadi prioritas utama dan kedudukannya sebagai elit social di banten dapat menjadi barometer politik masyarakat. Bisa kita lihat ulama-ulama Banten yang terlibat dan ikut andil dalam partai politik bisa diambil contoh Alm. Abuya Bustomi menjadi tokoh yang sangat disegani sehingga masyarakat. Contoh lain adalah Tubagus H. Chasan Schohib[8] Ketua Pendekar Banten ini membentuk peta politik Banten yang sangat jelas dan kekuatan politiknya sangat kuat, itu dapat dilihat dari anak kandungnya sendiri Rt. Atut Chosyiah (gubernur Banten) bahkan dari anak kandungnya yang lain dan menantunya ramai-ramai ikut mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah di kabupaten dan kota yang ada di Banten.

c. Hubungan Ulama dan Jawara

Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh ulama dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Ulama lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten.

Ulama dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. Ulama mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).

Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan ulama sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, ulama merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para ulama jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan ulama terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari ulama, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada ulama dipandang sebagai penebus “berkah” ulama yang telah diberikan kepadanya.[9]

C. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan jaringan membuat ulama dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga ulama dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah subkultur ulama dan jawara.

Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, ulama dalam masyarakat Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang “terpelajar” muslim yang telah membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar ulama dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar ulama merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal.

Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.

Ulama dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.

Kedua. peranan yang dimainkan oleh Ulama dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang ulama adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik ulama dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.

Ketiga, jaringan tradisional yang dibangun kelompok ulama dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron.

Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, ulama dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari ulama. Sebaliknya, ulama atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, juga banyak ulama yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.

Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada empat hal yang perlu diperhatikan:

1. Perkembangan dinamika politik lokal sangat sangat ditentukan oleh peranan masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan potensi lokal guna mencapai tujuan negara.

2. Penerapan otonomi daerah dalam pemerintahan dapat membawa hasil positif dan negatif dalam perkembangan dinamika politik lokal

3. Ulama sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan ulama dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan ulama mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.

4. Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap dinamika social politik di Banten. Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.

D. DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pusataka Jaya, 1984,

Martin van Briunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Isalam di Indonesia, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999,

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1985, p. 55.

M.A. Tihami, “Kiyai dan jawara di Banten”, Tesis Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, 1991.

Muasik Kamal, Skripsi Budaya Politik Kampus studi terhadap aktivis mahasiswa di lingkungan universitas negeri semarang. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. 2005.

http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-04b.asp - _ftnref9M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten” Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991),







[1] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pusataka Jaya, 1984, p. 15

[2] Martin van Briunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Isalam di Indonesia, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999, p. 246.

[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1985, p. 55.

[4] M.A. Tihami, “Kiyai dan jawara di Banten”, Tesis Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, 1992, tidak diterbitkan.

[5] Lihat Kamal Muasik, Skripsi Budaya Politik Kampus studi terhadap aktivis mahasiswa di lingkungan universitas negeri semarang. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. 2005. h. 27-28

[6] Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, p. 55.

[8] H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di Banten memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Lebih jauh lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur Propinsi Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara, yakni dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.

[9] Lihat Tihami, “Ulama dan Jawara di Banten” hlm. 157-166