Selasa, 25 Januari 2011

ULAMA DAN JAWARA : PERAN DAN POSISINYA DALAM DINAMIKA SOSIAL POLITIK DI BANTEN


A. PENDAHULUAN

Semenjak Pemerintahan Kolonial Belanda menaklukan Kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyatnya terhadap pemerintah kolonial dan aparatnya tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama, bersifat agresif dan bersemangat memberontak.[1]

Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di antara unsur-unsur yang merupakan ramuan yang membentuk kebudayaan mereka, yakni hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu – Jawa. Islam mengalami penetrasi yang sangat dalam pada masyarakat Banten.[2]

Dalam daerah yang sangat terkenal ketaatannya terhadap agama seperti daerah Banten sudah sewajarnya jika Ulama menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat. Ulama yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak saja dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik. Kekuasaan Ulama seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan[3].

Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam[4]. Dengan keunggulan yang dimilikinya tersebut jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magis..

Dinamika politik di Banten mulai terlihat pada masa revolusi pada tahun 1945-1949 setelah kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kaum ulama atas pilihan rakyat secara serentak segera menduduki jabatan-jabatan di jajaran pemerintahan,terutama kepamongprajaan. Penggantian itu dilakukan setelah melihat para pejabat lama diam saja, bahkan berada dalam kebingunan, setelah mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proses penggantian itu terus berlangsung setelah “Dewan” Pimpinan Ce Mamat terbentuk dan melakukan aksinya.

Hal inilah yang kemudian menarik bagi penulis untuk mengetahui sejauh mana sepak terjang ulama dan jawara dalam proses demokrasi di Banten sserta pengaruhnya terhadap masyarakat. Yang mana kita tahu bahwa uraian di atas tadi menunjukkan betapa pentingnya peran ulama dan jawara di dalam proses politik di Banten

B. PEMBAHASAN

a. Dinamika Sosial Politik Banten

Pada dasarnya manusia itu tidak mungkin dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan manusia lain untuk berinteraksi demi memenuhi kebutuhan hidupnya, baik pada segi-segi fisiologi, psikologi, maupun sosiologi. Dengan demikian, disebabkan adanya kebutuhan untuk bergaul dengan manusia lain itulah, terjadilah dinamika sosial. Gilirannya, tercipta kelompok-kelompok sosial yang masing-masing di antaranya memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Tentu saja buntutnya, tumbuh persaingan, lahir kompetisi, saling adu strategi, bahkan pada akhirnya muncul pula sikap-sikap saling mendominasi atau saling menguasai di antara kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri.

Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. (Dr Rusadi Kantaprawira, SH, 2002 :22) Persepsi budaya politik sering diberi arti sebagai peradaban politik yang digandengkan dengan prestasi dalam bidang peradaban dan teknologi. Hal ini terlihat pula dari lingkup budaya politik yang meliputi: pola orientasi individu, yang diperoleh dari pengetahuan yang luas maupun yang sempit; orientasinya yang dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, keterlekatan ataupun penolakan; orientasi yang bersifat menilai terhadap objek, dan peristiwa politik, hal tersebut dinilai sebagai peradaban daripada sebagai kebudayaan. Oleh karena budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik

dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan, dan wewenang.

Hubungan budaya politik dengan perilaku politik menurut Robert K. carr (et.al) dirumuskan bahwa perilaku politik adalah suatu telaah mengenai tindakan manusia dalam situasi politik . Situasi politik meliputi; pengertian repons emosional berupa dukungan maupun simpati kepada pemerintah, respon terhadap perundang-undangan dan lain-lain. Suatu model budaya politik tertentu tidak dapat dihubungkan secara kekar dengan suatu sistem politik tertentu. Budaya politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga: a). Budaya politik parokral ( parochial political culture) adalah budaya politik yang terbatas pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya propinsial dan adanya kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau keuasaan politik dalam masyarakatnya, b). Budaya politik kaula (subject political culture) adalah dimana anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian, mungkin pula kesadaran, terhadap sistem sebagai keseluruhan terutama terhadap segi output dan orientasi mereka yang nyata terhadap objek politik dapat terlihat dari pernyataannya, baik berupa kebanggaan, ungkapan sikap mendukung maupun sikap bermusuhan terhadap sistem, terutama terhadap aspek outputnya, dan c). Budaya politik partisipan (participant political culture) adalah ditandai oleh adanya perilaku yang berbeda perilaku sebagai kaula dimana seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menaggung kewajibannya. [5]

Budaya politik sebagai salah satu unsur atau bagian kebudayaan merupakan satu diantara sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik. Dalam kultur politik itu sendiri berinteraksi antara lain sejumlah sistem : sistem ekologi, sistem sosial, dan sistem kepribadian yang tergolong dalam kategori lingkungan masyarakat, maupun lingkungan luar masyarakat, sebagai hasil kontak sistem politik dengan dunia luar.

Dinamika politik di Banten sendiri itu bisa dilihat dari gambaran umum budaya local itu sendiri. Pada uraian pendahuluan di atas tadi bahwa dinamika social politik di Banten sudah di mulai sejak masa revolusi (1945-1949). Di mana ulama dan jawara merupakan dua symbol yang erat kaitannya dengan budaya local di Banten sangat mempengaruhi prosses dinamika politik di Banten itu sendiri. Pada penerapannya politik di Banten sendiri masih lekat dengan dominasi Jawa dilihat dari letak goegrafisnya yang cenderung mengedepankan konsep “halus”, menjunjung tinggi ketenangan sikap, dan mengedepankan kebersamaan

Heinelt dan Wollmann (1991) mendefinisikan politik lokal sebagai suatu sense dalam pembangunan dan penghargaan secara sosial yang berupa keputusan-kepurusan dalam sistem interaksi berdasarkan fisik dan ruang sosial. Sementara Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah).

Berbicara tentang politik lokal akan terkait dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Di mana kekuasaan itu tidak hanya didasarkan pada kemampuan tetapi juga oleh faktor lain yang memiliki kaitan dengan keberadaan masyarakat atau daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu ada dua faktor yang mempengaruhi kehidupan politik lokal masyarakat Indonesia, pertama munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik, sebagai salah satu indikasi penguatan identitas terhadap wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia yang kaya akan identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bisa memperkuat pluralisme (Abdilah, 2002) Sementara Giddens (2000) menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Ia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari makna “bangsa kosmopolitan” yang sesungguhnya.

Kedua, Kehadiran masyarakat dalam wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dari perluasan arena gerakan rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan kebijakan daerah sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut diharapkan bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh sebab itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara pertumbuhan otoritas pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal untuk melakukan stabilitas ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program pembangunan (Mac Andrew, 1986).

Dinamika poltik di Banten semakin bergejolak sejak runtuhnya rezim orde baru. Pemekaran daerah Banten yang berpisah dari Jawa Barat Tahun 2000 memberikan sinyal positif bagi masyarakat Banten, selain itu didukung pula dengan kebijakan pemerintah pusat tentang otonomi daerah, yang dikemas dengan rangkaian pesta demokrasi di masing-masing daerah seperti Banten itu sendiri. Dari proses inilah setidaknya pendidikan politik masyarakat diuji, sehingga dapat dilihat perilaku politik, budaya politik dan dinamika social politik itu sendiri dilihat.

b. Peran Ulama dan Jawara dalam dinamika Politik di Banten

Banten tidak bisa dilepas dari dua kata kunci utama yaitu Ulama dan Jawara dilihat dari sisi budaya yang mengedepankan nilai-nilai religious keagamaan (ulama) serta kehormatan (jawara). Maka sangatlah wajar jika keduanya sering disebut sebagai tokoh kharismatik di banten. Seperti telah di uaraikan pada pendahuluan tadi bahwa Ulama menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat. Ulama yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak saja dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik. Kekuasaan Ulama seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan[6]. peranan yang dimainkan oleh ulama dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang ulama adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik ulama dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Jika dilihat secara umum maka peran social ulama di Banten adalah sebagai tokoh masyarakat kelas elit masyarakat, guru, penentu kebijakan, dan pemimpin.

Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar” terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten.

Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.[7]

Seiring berjalannya proses demokrasi sejak pemili 1999 sampai saat ini, peran ulama dan jawara dalam partisipasi politik di Banten tidak pernah redup. Hal ini dapat dilihat bahwa ulama dan jawara masih menjadi prioritas utama dan kedudukannya sebagai elit social di banten dapat menjadi barometer politik masyarakat. Bisa kita lihat ulama-ulama Banten yang terlibat dan ikut andil dalam partai politik bisa diambil contoh Alm. Abuya Bustomi menjadi tokoh yang sangat disegani sehingga masyarakat. Contoh lain adalah Tubagus H. Chasan Schohib[8] Ketua Pendekar Banten ini membentuk peta politik Banten yang sangat jelas dan kekuatan politiknya sangat kuat, itu dapat dilihat dari anak kandungnya sendiri Rt. Atut Chosyiah (gubernur Banten) bahkan dari anak kandungnya yang lain dan menantunya ramai-ramai ikut mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah di kabupaten dan kota yang ada di Banten.

c. Hubungan Ulama dan Jawara

Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh ulama dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Ulama lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten.

Ulama dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. Ulama mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).

Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan ulama sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, ulama merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para ulama jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan ulama terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari ulama, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada ulama dipandang sebagai penebus “berkah” ulama yang telah diberikan kepadanya.[9]

C. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan jaringan membuat ulama dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga ulama dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah subkultur ulama dan jawara.

Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, ulama dalam masyarakat Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang “terpelajar” muslim yang telah membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar ulama dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar ulama merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal.

Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.

Ulama dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.

Kedua. peranan yang dimainkan oleh Ulama dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang ulama adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik ulama dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.

Ketiga, jaringan tradisional yang dibangun kelompok ulama dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron.

Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, ulama dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari ulama. Sebaliknya, ulama atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, juga banyak ulama yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.

Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada empat hal yang perlu diperhatikan:

1. Perkembangan dinamika politik lokal sangat sangat ditentukan oleh peranan masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan potensi lokal guna mencapai tujuan negara.

2. Penerapan otonomi daerah dalam pemerintahan dapat membawa hasil positif dan negatif dalam perkembangan dinamika politik lokal

3. Ulama sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan ulama dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan ulama mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.

4. Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap dinamika social politik di Banten. Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.

D. DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pusataka Jaya, 1984,

Martin van Briunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Isalam di Indonesia, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999,

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1985, p. 55.

M.A. Tihami, “Kiyai dan jawara di Banten”, Tesis Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, 1991.

Muasik Kamal, Skripsi Budaya Politik Kampus studi terhadap aktivis mahasiswa di lingkungan universitas negeri semarang. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. 2005.

http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-04b.asp - _ftnref9M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten” Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991),







[1] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pusataka Jaya, 1984, p. 15

[2] Martin van Briunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Isalam di Indonesia, Cet. III, Bandung: Mizan, 1999, p. 246.

[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1985, p. 55.

[4] M.A. Tihami, “Kiyai dan jawara di Banten”, Tesis Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, 1992, tidak diterbitkan.

[5] Lihat Kamal Muasik, Skripsi Budaya Politik Kampus studi terhadap aktivis mahasiswa di lingkungan universitas negeri semarang. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. 2005. h. 27-28

[6] Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, p. 55.

[8] H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di Banten memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Lebih jauh lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur Propinsi Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara, yakni dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.

[9] Lihat Tihami, “Ulama dan Jawara di Banten” hlm. 157-166

Tidak ada komentar: