Selasa, 25 Januari 2011

IKLAN POLITIK SEBAGAI BAGIAN DARI OPINI PUBLIK*

Opini publik adalah kumpulan pendapat mengenai hal ihwal yang mempengaruhi atau menarik komunitas, untuk melukiskan kepercayaan atau keyakinan yang berlaku di masyarakat dan oleh pemerintah dianggap bijaksana untuk diindahkan (Dan Nimmo : 2004 :10). Tak kalah pentingnya adalah serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan praktek trendy pemakaian metode iklan politik untuk merekam opini publik dalam kegiatan pemilu di Indonesia, pencabangannya, dan penggunaan iklan politik untuk mempengaruhi pemilih. Mengapa partai partai dan kandidat politik kini gandrung dengan iklan politik? Mengapa kritik terhadap iklan politik merebak? apakah semua kritik memiliki harga cukup untuk didiskusikan?

Sejak era reformasi dan kemudian disusul sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, terdapat fenomena yang tidak pernah ada pada masa orde baru yaitu marketing politik. Marketing politik merupakan akibat logis dari dibukanya sistem politik yang demokratis, dimana pemilih bebas menentukan pilihan. Politik yang demokratis kini analog dengan kompetisi dalam dunia bisnis, dimana kandidat harus memperebutkan calon pemilih (konsumen) sebagai khalayak sasaran. Salah satu alat yang lazim digunakan dalam marketing politik adalah iklan, disamping berbagai tools komunikasi lainnya.

Di Indonesia iklan politik semakin penting digunakan para politisi dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden, tetapi juga tak lepas dari kontroversi. Pakar politik Arbi Sanit misalnya menilai langkah sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa saat ini untuk menghadapi pemilu 2009 merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab menurutnya lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Lebih jauh Arbi, seperti dikutip Kompas mengatakan:

“Lewat iklan itu, masyarakat hanya diajak untuk memilih orang yang populer. Ini menjebak rakyat karena pemimpin tidak cukup bermodalkan popularitas tetapi harus memiliki pengalaman dan terbukti teruji. Di Indonesia iklan membuat orang dapat berubah citra dalam waktu singkat. Seharusnya, orang itu juga harus membuktikan kemampuannya, misalnya membuat partainya memenangi pemilu. Iklan oleh aktivis parpol terbukti efektif mempengaruhi rakyat. Ini terlihat pada Pemilu 2004. Momen itu (Pemilu 2004) yang memancing adanya kesalahan jalan politik kita, terutama lewat iklan.”

Membahas iklan politik memang menarik, apalagi di Indonesia bidang ini belum banyak dikaji. Selain kontroversi yang meliputinya, isu lain adalah seberapa efektif sebenarnya iklan politik untuk menjaring massa pemilih. Tanpa kajian yang jelas tentu para kandidat hanya menghabiskan dana milyaran rupiah dengan percuma untuk memproduksi dan menayangkan iklan. Pembahasan berikut akan melihat sampai dimana potensi iklan sebagai alat marketing politik.

Potensi Iklan Politik

Menurut Linda Lee Kaid dalam Putra (2007), iklan politik adalah proses komunikasi dimana seorang sumber (biasanya kandidat dan atau partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan melalui media massa guna meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku politik khalayak. Iklan sendiri dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi, membujuk dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1).

Seperti halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan politik tak lain adalah mempersuasi dan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut iklan politik tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan informasi tentang siapa kandidat (menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa yang telah kandidat lakukan (pengalaman dan track record kandidat, bagaimana posisinya terhadap isu-isu tertentu (issues posisition) dan kandidat mewakili siapa (group ties). Isi (content) Iklan politik senantiasa berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang diangkat (policy position), kualitas kepemimpinan (character), kinerja (track record-nya) dan pengalamannya. Iklan politik, sebagaimana dengan iklan produk komersial yang tak hanya memainkan kata-kata (word), tetapi juga, gambar, suara dan musik.

Lebih jauh iklan politik juga berfungsi membentuk image kandidat. Iklan sebagai bagian dari marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya. Menurut Peteraf dan Shanley (1997) image bukan sekadar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap kelompok atau group. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional maupun emosional. Image politik, menurut Herrop (1990), dapat mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu partai politik. Di sini, image politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik.

Image politik seperti terlihat dalam produk iklan tidak selalu mencerminkan realitas obyektif. Suatu image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Image politik dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat. Image politik dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Image politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Di samping itu, image politik dapat memengaruhi pula opini publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu. Misalnya, katakanlah suatu partai politik memiliki image sebagai partai yang tiradisional, di mana nilai-nilai tradional lokal menjadi tujuan perjuangan. Image tersebut dapat memotivasi aktor-aktor politik dalam partai tersebut untuk selalu mengacu pada hal-hal yang bersifat tradisional. Selain itu, masyarakat awam pun niscaya memposisikan partai tersebut sebagai institusi yang memperjuangkan nilai-nilai tradisional. Perlu dicatat di sini bahwa ciri tradisional sering dibedakan dengan modern. Ketika suatu partai politik dicap sebagai tradisionalis, otomatis partai tersebut memiliki sistem nilai yang bertolak belakang dengan ide-ide modern.

Dari sisi sifat pesan, iklan dapat juga digolongkan menjadi iklan positif dan iklan negatif. Iklan positif adalah iklan yang memuat keunggulan dari sebuah kontestan yang dipasarkan Sedangkan iklan negatif adalah iklan tentang kelemahan pesaing. Iklan negatif lebih cepat menarik per-hatian pemilih ketimbang iklan positif. Namun demikian, iklan negatif tidak selalu memberi citra positif kepada pi-hak yang menggunakan. Karena itu, penggunaan iklan negatif harus memperhitungkan risikonya.

Kritik terhadap Iklan Politik

Al Ries dan Laura Ries (2002) melalui karyanya yang menyentak kalangan periklanan, The Fall of Advertising and the Rise of PR, menyebut era periklanan tengah berakhir. Iklan gagal menyajikan kredibilitas di hadapan pemirsa dan meningkatkan penjualan produk. Ries dan Ries sendiri bukan antiperiklanan; keduanya meletakkan periklanan sebagai kelanjutan public relations (PR). PR-lah yang membentuk merek (citra), yang selanjutnya diperteguh iklan. Jadi, memercayai iklan untuk meyakinkan pemirsa akan kredibilitas isi tayangannya menjadi pekerjaan sia-sia.

Iklan adalah murni wilayah komersial, siapa pun bisa beriklan asal mampu membayar. Logis jika partai besar dengan sumber dana berlimpah lebih mampu beriklan ketimbang parpol gurem. Ketika beriklan, parpol menjual program dan gagasan, sama dengan perusahaan yang ingin menjual produk. Namun, banyaknya iklan tidak menjamin produk kian laku. Juga dalam kampanye pemilu, membeli iklan di media bukan otomatis membeli suara pemilih. Meningkatnya dukungan suara tidak sepenuhnya disebabkan keberhasilan teknik beriklan, terlebih lagi untuk iklan politik. Preferensi pemirsa tidak secara linier berubah dengan adanya iklan-iklan yang menggunakan teknik atau kreativitas tinggi. Oleh karena itu, logis bila mayoritas pemirsa-pemilih (ada yang menyebut angka 70 persen) sudah menentukan akan memilih siapa dalam pemilu presiden. Fenomena keterisolasian iklan dari preferensi pemilih berlaku tidak hanya di negara yang ikatan primodial dan paternalismenya kuat, tetapi juga ditemui di negara- negara yang memiliki tradisi kuat berdemokrasi.

Iklan dibuat sebagai alat memengaruhi dukungan publik. Namun, karena realitas keterisolasian iklan dengan preferensi pemilih, tujuan ini tidak efektif untuk memperluas dukungan suara. Kecuali, memperteguh pendapat pemilih yang telah mengikatkan emosinya. Jadi, iklan bukan pada posisi untuk memengaruhi, melainkan menguatkan pendirian-pendirian pemilih yang memiliki ikatan tradisional tertentu dengan capres (Putra, 2007).

Sedangkan dengan sinis Hikmat Budiman (Koran Tempo, 27 Maret 2004) mengatakan Iklan komersial memang tidak pernah dirancang untuk memaparkan kebenaran seperti para pendidik, melainkan justru melakukan surogat, mengelabui massanya dengan memutarbalikkan realitas seperti yang biasa dilakukan para ideolog tempo dulu. Iklan pencuci rambut, misalnya, menciptakan kenyataan palsu tentang begitu memalukannya kalau ada kelemumur pada rambut. Tapi sejauh ini tidak pernah ada somasi dengan tuduhan, misalnya, “tidak memberi pendidikan kultural” kepada publik.

Mengukur Kekuatan

Dengan melihat pembahasan diatas kita melihat bahwa iklan politik memiliki kekuatan dan kelemahan sebagai opini publik. Terutama mengenai efektivitasnya dalam menjangkau pemilih. Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai efektivitas iklan politik guna memenangkan pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin. Kenneth Goldstein, ahli ilmu politik Universitas Wiscounsin mengatakan, iklan politik bisa mempengaruhi, terutama dalam pemilihan antara dua calon presiden yang memiliki kualitas dan kemampuan hampir sama. Di negara maju, partai politik yang bersaing dalam pemilu memiliki massa fanatik sendiri yang disebut true believers sehingga suara swing voters yang kecil akan sangat menentukan kemenangan (Yulianti, 2004).

Dengan demikian jelas bahwa iklan politik memang seharusnya tidak dijadikan sebagai alat utama dalam kampanye kandidat, terlebih lagi dijadikan sebagai opini public, namun hanya sebagai alat penunjang. Kita tahu bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih akan ditentukan paling tidak oleh kondisi awal pemilih (lihat tipologi pemilih hal. 9), media masa (iklan dan berita) serta partai politik atau kontestan. Bisa jadi faktor keluarga dimana individu hidup didalamnya akan lebih kuat sehingga sangat menentukan pilihan-pilihan politik. Atau kualitas pendidikan dalam masyarakat sangat tinggi, sehingga mereka tidak begitu saja percaya dengan pemberitaan atau iklan. * Zaenal Mutaqin

DAFTAR PUSTAKA

Afdal Makkuraga Putra. Emosionalitas dan Negativity dalam Iklan Politik Pilkada, Jurnal Media Watch, 31 Agustus 2007

Al Ries dan Laura Ries. 2002. The Fall of Advertising and the Rise of PR. New York: Harper Collins Publishers

Dan Nimmo. 2004. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media, Bandung: Remaja Rosyda Karya

Hikmat Budiman. Iklan Partai Politik dan Konservatisme. Koran Tempo, 27 Maret 2004

Sudiana. 1986. Komunikasi Periklanan Cetak. Bandung: Remadja Rosyda Karya

Stanley Adi Prasetyo. Kita Takut pada Kampanye Negatif. Suara Merdeka, 30 Mei 2004

T. Yulianti, Iklan Politik di Televisi, Kompas, 15 Maret 2004

___________. Iklan Politik Bisa Menjebak, Kompas, 22 Mei 2008

Yusuf Maulana. Kredibilitas Iklan Politik di Televisi, Kompas, 26 Juni 2004

Tidak ada komentar: