Kamis, 20 Januari 2011

Meretas Opini Publik dan Konflik Dalam Dinamika Perpolitikan di Indonesia

Indonesia negeri dengan stok konflik yang tak ada habisnya. Saat konflik pimpinan KPK vs POLRI atau yang lebih dikenal dengan kasus “Cicak vs Buaya” meredup dari bingkai media. Kemudian muncullah konflik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) vs Abu Rizal Bakrie dan Pansus Hak Angket Bank Century. Pernyataan SMI di Harian The Wall Street Journal, edisi kamis (10/12) menjadi genderang perang sekaligus sinyal kuat bahwa tidak semua elite penyokong pemerintah berada dalam kuadran yang sama. Langkah ritmis koalisi tambun kian menunjukkan gejala ambivalensi. Mungkinkah ini penanda bahwa prioritas program 100 hari Pemerintahan SBY terancam bubar?

Pembentukkan Opini Publik

Berbagai rentetan peristiwa di atas kemudian diberitakan oleh media massa (cetak dan elektronik). Rentetan peristiwa itu kemudian diikuti oleh opini-opini yang dibangun di atas fakta-fakta yang berasal dari opini narasumber. Jadi, media massa memberitakan fakta-fakta yang berasal dari pendapat para narasumber tertentu atas fakta perseteruan antara Sri Mulyani Indrawati vs Abu Rizal Bakrie. Jika opini-opini itu diberitakan oleh media massa, pengaruhnya juga sampai ke pembaca, penonton atau pendengarnya (audiens). Jika audiens tersebut terpengaruh oleh pemberitaan dari media massa itu, jadilah yang disebut dengan opini publik (public opinion).

Prof Hafied Cangara –Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin- mendefinisikan opini publik sebagai berikut. Menurutnya opini publik adalah gabungan pendapat-pendapat perseorangan mengenai suatu isu yang dapat memengaruhi orang lain, serta memungkinkan seseorang dapat memengaruhi pendapat-pendapat tersebut. Ini berarti opini publik hanya bisa terbentuk kalau menjadi bahan pembicaraan umum, atau jika banyak orang penting (tokoh / elite) mengemukakan pendapat mereka tentang suatu isu sehingga bisa menimbulkan pro atau kontra di kalangan anggota masyarakat[1].

Menurut Leonard W. Doob, suatu isu baru dapat dikatakan opini publik setelah masyarakat menyatakan pendapatnya. Sepanjang pendapat itu sifatnya orang perorang, ia baru menjadi pendapat pribadi. Namun, perlu diketahui bahwa pendapat pribadi tidak bisa dipisahkan dengan opini publik, sebab opini publik dibangun berdasarkan pendapat perseorangan (pribadi) terhadap isu yang diminati oleh orang banyak. Jadi sebuah pendapat pribadi bisa saja menjadi bagian dari opini publik jika seseorang ikut terlibat dalam membicarakan masalah yang banyak dibicarakan oleh masyarakat, terlebih jika pendapat itu dikemukakan lewat media massa[2].

Opini publik dapat di analisisa dengan dua cara: pertama, metode penelitian, yakni penelitian berusaha mengetahui isu-isu tertentu yang sedang hangat diperbincangkan ditengah-tengah masyarakat. Kedua, metode promosi, yakni dimaksudkan untuk memberi pemahaman dan kesadaran kepada publik tentang suatu isu-isu tersebut. Kedua analisis ini memberi manfaat untuk mengetahui tingkat, kecenderungan, dan proses opini publik[3].

Opini publik biasanya berkembang karena pengaruh pemberitaan dari media massa, meskipun ada juga opini publik yang bisa dibangun bukan dari media massa. Masalahnya, media massa mempunyai kekuatan untuk memperkuat dan mempercepat tersebarnya sebuah opini. Jadi publik bereaksi dari apa yang diakses masyarakat lewat media massa. Dalam posisi ini, opini bisa berkembang dengan baik atau tidak, sangat tergantung dari pemberitaan apa yang disiarkan media massa itu.

Tidak heran, jika opini publik bisa disebabkan oleh dua hal, direncanakan (planned opinion) dan tidak direncanakan (unplanned opinion). Opini publik yang direncanakan dikemukakan karena memang ada sebuah rencana tertentu yang disebarkan media massa agar menjadi opini publik. Ia mempunyai organisasi, kinerja dan target yang jelas. Misalnya, opini yang sengaja dibuat oleh elite politik tertentu. Sedangkan opini publik yang tidak direncanakan, muncul dengan sendirinya tanpa rekayasa. Media hanya sekadar memuat sebuah peristiwa yang terjadi kemudian diperbincangkan di tengah masyarakat. Dalam posisi ini, media massa hanya mengagendakan sebuah peristiwa dan memberitakannya, hanya itu. Ia kemudian menjadi pembicaraan publik karena publik menganggap isu itu penting untuk diperbincangkan. Karena menjadi pembicaraan di masyarakat, media massa kemudian memberi penekanan tertentu atas sebuah isu dan pada akhirnya, ia menjadi opini publik juga[4].

Untuk menjadi opini publik, kemunculannya melalui berbagai proses yang tidak gampang dan singkat. Ferdinand Tonnies dalam bukunya Die Offentlichen Meinung pernah mengungkapkan bahwa opini publik terbentuk melalui tiga tahapan[5]:

Pertama, die luftartigen position. Pada tahap ini, opini publik masih semrawut seperti angin ribut. Masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengetahuan, kepentingan, pengalaman dan faktor lain untuk mendukung opini yang diciptakannya.

Kedua, die fleissigen position. Pada tahap ini, opini publik sudah menunjukkan ke arah pembicaraan lebih jelas dan bisa dianggap bahwa pendapat-pendapat tersebut mulai mengumpul ke arah tertentu secara jelas. Artinya, sudah mengarah, mana opini mayoritas yang akan mendominasi dan mana opini minoritas yang akan tenggelam.

Ketiga, die festigen position. Pada tahap ketiga ini, opini publik telah menunjukkan bahwa pembicaraan dan diskusi telah mantap dan suatu pendapat telah terbentuk dan siap untuk dinyatakan. Dengan kata lain, siap untuk diyakini kebenarannya setelah melalui perdebatan dan perbedaan pendapat yang tajam sebelumnya.

Konflik Sebuah Keniscayaan

Pada dasarnya bibit konflik telah berada pada setiap individu manusia, atau konflik bersifat terpendam (latent conflict). Apabila individu manusia itu berada dalam organisasi, maka dalam organisasi terpendam bibit konflik (organizational latent conflict). Konflik akan muncul dan terjadi (manifest conflict) apabila ada faktor pemicu dan terdapatnya sumber konflik

Terjadinya konflik disebabkan oleh beberapa faktor yang melatar belakangi. Konflik dapat berlatar belakang pola kepercayaan yang berbeda ideologi atau etnis budaya. Konflik semacam ini bersifat konflik ideal, atau konflik terjadi karena perbedaan tujuan yang hendak dicapai sebagai akibat perbedaan persepsi atau latar belakang. Konflik dapat pula disebabkan oleh benda-benda materil, karena sifatnya yang langka sehingga menjadi rebutan antar individu, kelompok, bangsa atau negara[6].

Pada dasarnya timbulnya konflik bersumber dari simbol-simbol kepentingan masyarakat yang tidak diinterpretasikan ke dalam struktur simbol-simbol kekuasaan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor[7]:

  1. Beragamnya simbol-simbol yang berkembang dalam masyarakat. Faktor ini muncul dari struktur simbol kekuasaan. Misal, beragamnya pola keyakinan atau kepercayaan, ideologi dan etnis kultur. Dalam masyarakat pluralis maka struktur simbol-simbol kekuasaan diwujudkan berdasarkan konsensus antar pluralis atau antar penganut ideologi. Suatu hal yang sangat sederhana untuk mewujudkan konsensus apabila yang dimaksud pluralis terdiri dari kelompok-kelompok yang didasari ideologi yang perbedaannya tidak terlalu mendasar, atau keragaman kelompok yang ada tapi ideologinya sama. Kondisi pluralis sama halnya dengan multi etnis yang selalu dihadapkan kepada problem mengintegrasikan antar etnis ke dalam orientasi sebagai etnis bangsa.
  2. Kelangkaan sumber informasi. Kelangkaan sumber informasi lebih banyak dialamatkan kepada pemerintah di dalam memberi layanan terhadap masyarakat. Kelangkaan sumber informasi mengandung makna bahwa masyarakat, baik secara individual maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan kurang menerima informasi tentang perkembangan negara. Kekurangan informasi dapat menimbulkan kesalahpahaman atau silang pendapat yang berujung pada pertentangan. Selain itu kekurangan informasi dapat menimbulkan ragam interpretasi yang tidak mustahil karena masuknya informasi yang menyesatkan untuk mempertajam perbedaan interpretasi. Kelangkaan informasi biasanya dialami oleh negara-negara berkembang yang memiliki fasilitas komunikasi yang sangat terbatas, terutama negara-negara yang mengalami hambatan geografis yang sulit terjangkau oleh arus informasi.
  3. Perbedaan persepsi di dalam mencapai tujuan. Perbedaan ini lebih dominan diwarnai oleh faktor ideologis, karena masing-masing penganut ideologi selalu berusaha untuk mendapat otonomi di dalam melaksanakan tujuan ideologi, sehingga beragamnya tuntutan otonomi mengundang kompetisi terjadinya bursa ideologi, terutama apabila ideologi telah merupakan nilai-nilai keyakinan, maka kondisi ke arah konflik sangat terbuka.

Dalam setiap masyarakat atau negara sebenarnya terdapat unsur-unsur konflik, hanya yang menjadi masalah, apakah konflik itu muncul kepermukaan atau tidak (latent). Oleh karena itu, L.R. Pondy yang dikutip oleh John M. Thomas dalam buku Management of Change and Conflict, terbitan tahun 1972 menyatakan bahwa konflik sebenarnya terdiri dari beberapa tahapan, yaitu[8]:

a. Latent Conflict, yaitu suatu kondisi yang melandasi tingkatan-tingkatan konflik lebih lanjut. Apabila latent conflict tidak ada, maka konflik-konflik berikutnya tidak akan ada.

b. Perceive Conflict, pada tingkat ini disadari bahwa konflik akan terjadi (perceive), disebut juga sebagai kondisi cognition yaitu mendasari bahwa konflik akan muncul.

c. Konflik berwujud dalam kenyataan, yaitu bergeser dari “perceive conflict ke felt conflict”, yaitu konflik berada pada kondisi affection atau dorongan yang berpengaruh terhadap munculnya konflik (felt conflict).

d. Konflik muncul sebagai suatu kenyataan (manifest conflict). Pada tingkat ini muncul dalam bentuk: agresi secara terbuka, kerusuhan, revolusi politik, dan gerakan-gerakan ekstrim.

Setelah konflik terjadi maka situasi atau kondisi bersifat alternatif, yaitu kondisi semakin buruk atau kondisi menjadi baik, karena kondisi baru mendatangkan angin segar. Kondisi ini disebut sebagai conflict aftermath.

Dalam kaitan konflik, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa pertentangan atau konflik adalah sebagai suatu proses disosiatif yang agak tajam dalam membawa akibat positif atau negatif. Dalam kondisi seperti ini terdapat kecenderungan untuk kembali menyelesaikan dengan norma-norma hubungan sosial dalam kelompok, terutama apabila individu-individu berada pada tingkat interaksi sosial dalam frekuensi tinggi, maka kemungkinan terjadinya konflik dapat ditekan.

Konflik terjadi, menurut Soerjono Soekanto karena sikap toleran dan perilaku yang institusional dilandasi perasaan amarah dan benci. Oleh karena itu, pertentangan (latent conflict) yang dibiarkan berkembang menjadi manifest conflict dapat berbahaya bagi keutuhan kelompok, dan lebih luas lagi keutuhan masyarakat bernegara. Namun pada gilirannya akibat konflik (conflict aftermath) dapat memberi manfaat dalam meningkatkan integritas dan stabilitas nasional[9].

Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa konflik pada hakekatnya adalah bekerjanya unsur-unsur dinamis seperti manusia, organisasi dan perusahaan. Setiap individu atau organisasi selalu menghendaki tercapainya tujuan. Pencapaian ini bersifat dinamis dan mengarah kepada perubahan. Dalam suasana perubahan, perbedaan pendapat dan pandangan akan muncul, yang pada gilirannya akan mengundang konflik.

Konteks Polemik

Hal menarik dalam mengamati polemik yang kian hari kian eskalatif ini adalah konteks bagaimana pesan dibuat dan didistribusikan kepada publik. Agresivitas verbal Sri Mulyani Indrawati (SMI) di media massa, itu tentu tak muncul dalam ruang hampa, melainkan berbalut banyak faktor dalam dimensi masa lalu, sekarang dan masa mendatang. Inilah konflik yang merepresentasikan krisis dalam manajemen koalisi yang baru seumur jagung. Konteks masa lalu yang tak mungkin kita nafikan dalam membaca variabel konflik ini adalah relasi antagonistik yang terbangun di antara SMI dengan Ical.

Paling tidak kita bisa menyebutkan empat momentum masa lalu yang menabur konflik di antara kedua elite ini. Keempat moment ini sebenarnya sudah ramai menjadi bahan gunjingan sekaligus berita di berbagai media massa. Pertama, SMI meminta pencabutan penghentian sementara (suspen) perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk pada 7 Oktober 2008. Padahal, Ical menghendaki perdagangan saham PT Bumi Resources dihentikan sementara untuk menghindari penurunan lebih jauh karena terimbas sentimen negatif pasar global. Kedua, SMI meminta pencekalan beberapa eksekutif Grup Bakrie yang akan bepergian ke luar negeri setelah beberapa perusahaan tambang batu bara menolak membayar royalti kepada pemerintah. Ketiga, penolakan SMI atas keinginan Bakrie membeli 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. SMI yang saat itu menjabat Plt. Menko Perekonomian, meminta agar seluruh saham divestasi Newmont dibeli oleh perusahaan negara. Keempat, SMI dianggap sebagai pejabat yang berani menyimpulkan semua dampak kerugian semburan lumpur Lapindo harus ditanggung Bakrie selaku pemilik, karena peristiwa tersebut merupakan akibat kesalahan manusia. Dari gambaran tadi, bisa kita nyatakan bahwa potensi konflik memang sudah bersemayam dalam relasi kuasa di antara mereka[10].

Konteks saat ini, SMI sedang dirundung masalah terkait dengan kebijakannya mengenai pengucuran dana talangan Bank Century yang menyedot uang negara Rp 6,7 triliun. Dia harus berhadapan dengan Pansus Hak Angket Bank Century yang diketuai oleh Idrus Marham dan notabene merupakan elite Golkar, partai yang saat ini dinakhodai Ical. SMI secara eksplisit menyatakan Ical tak senang kepadanya dan dia tak berharap orang-orang di Golkar akan berlaku adil dan baik hati dengannya selama penyelidikan. SMI menganggap apa yang akan dilakukan Panitia Hak Angket Bank Century DPR merupakan upaya mendiskreditkan dirinya. Inilah variabel tekanan yang begitu kuat menghantam SMI, sehingga menjadi situasi dinamis yang kian mempertajam konflik. Momentum inilah yang memaksa SMI harus membuat klarifikasi resmi Minggu (13/12), guna menjawab beberapa serangan terbuka anggota Pansus Hak Angket DPR yang mengarah ke dia.

Konteks ke depan, SMI menganggap bahwa dia dan Boediono menjadi sasaran bidik dari banyak pihak. Hal terpahit yang sangat mungkin mereka terima adalah non aktif dari jabatannya masing-masing. Prediksi masa mendatang yang tak diinginkannya inilah, yang menyebabkan SMI menerapkan strategi verbal agresif sebagai strategi perang terbuka terhadap Ical dan Pansus Hak Angket Century lebih khusus lagi terhadap para politisi Golkar yang ada di situ[11].

Semenjak perang terbuka yang dilancarkan oleh SMI dalam pernyataannya di Harian The Wall Street Journal, edisi kamis (10/12), telah menjadi genderang perang. Maka sejak saat itulah konflik berada di ranah publik. Terlebih konteks yang menjadi saluran distribusi pesan SMI adalah media massa internasional. Tentu, bukan tanpa alasan memilih Wall Street Journal sebagai media untuk membentuk opini publik dan membuka diskursus. Konteks komunikasi yang dapat kita baca adalah SMI butuh gaung atau resonansi yang memadai guna pembentukan opini publik. Inilah ciri perlawanan dari birokrat yang tak memiliki basis massa yang kuat. Biasanya tipe-tipe birokrat seperti ini menggunakan media massa sebagai saluran utama komunikasi politiknya daripada persuasi atau negosiasi informal di belakang layar.

Paling tidak menurut Gun Gun Heryanto, ada empat hal yang patut kita perhatikan sebagai dampak konflik elite ini, yaitu[12]:

1. Akan terganggunya prioritas program 100 hari pemerintahan. Jika konflik elite sambung-menyambung tak ada hentinya, residu dari kondisi ini sudah pasti adalah energi negatif yang sangat mungkin menjadi racun bagi optimalisasi kinerja. Saat elite menjadikan konflik sebagai motif penting untuk perilaku mereka, mekanisme ini akan menuntun perilaku dan sikap serupa. Inilah yang dalam komunikasi perspektif interaksi simbolik dari George Herbert Mead disebut sebagai prediksi pemenuhan diri {self-fulfilling prophecy), pengharapan akan diri yang menyebabkan seseorang berperilaku sedemikian rupa. Semakin banyak elite yang menjadikan konflik sebagai motif, maka konfliklah yang akan mengatur jalan dominan para elite dalam kabinet, bukan optimalisasi kerja. Saat ini, kita pesimis sinyal produktivitas" kerja bisa ditunjukkan Pemerintahan SBY dalam masa 100 hari. Performa politik pemerintahan SBY terganggu dengan banyaknya konflik elite yang mengemuka belakangan ini.

2. Akan menjadi situasi dilematis bagi SBY dan partai demokrat dalam membangun pola koalisi yang berkelanjutan dengan mitra koalisinya. Konflik elite ini sangat mungkin menjadi bahan evaluasi koalisi dan relasi kuasa antara Golkar dan Demokrat ke depan. Sekali lagi, pola koalisi yang dibangun para elite kita pada dasarnya rentan dengan perpecahan karena kerap munculnya motif rasional pragmatis di antara mereka saat menemukan momentum dalam situasi penuh paradoks seperti sekarang ini. Kita tahu, bahwa saat SMI dan Boediono menjadi sasaran, tentu hal ini menohok eksistensi Pemerintahan SBY. Golkar, bagaimanapun, merupakan kekuatan menentukan di DPR, sehingga konflik elite ini akan menempatkan Demokrat dan SBY dalam pilihan sulit.

3. Sangat mungkin menjadi momentum bagi naiknya daya tawar partai tertentu dalam negosiasi jabatan di lingkaran kekuasaan. Hal ini sesungguhnya yang kita khawatirkan, tekanan para politisi di pansus lebih diarahkan pada pencapaian target melengserkan orang tertentu dibanding kesungguhan mereka dalam mengungkap secara tuntas dan utuh kasus Bank Century.

4. Dalam skala makro, akan memengaruhi citra dan iklim investasi di Indonesia. Semakin buruk citra dan iklim investasi, upaya menjadikan Indonesia semakin kuat di bidang ekonomi hanyalah mimpi belaka. Terlebih, jika elite yang terlibat konflik adalah orang yang sekarang menjadi gate keeper informasi dan kebijakan bidang ekonomi.

Semakin ruwet persoalan di atas, jika dikaitkan dengan pembentukan opini publik, bisa masuk dalam tahapan pertama yakni opini publik masih semrawut. Hal ini disebabkan karena masing-masing pihak yang bertikai saling merasa benar sendiri dan cenderung menyalahkan pihak lain. Yang jelas kepentingan masing-masing pihak masih sangat transparan. Soal bagaimana akhir (ending) drama politik. Biarlah isu itu terus bergulir. Biarlah nanti opini publik melalui tahapan selanjutnya. Biarlah media massa punya agenda tersendiri tanpa campur tangan kepentingan pihak-pihak lain. Dan akhirnya, biarlah masyarakat menilai mana pihak yang benar dan mana pihak yang salah. Opini publik seperti itu akan memberikan pelajaran karena semua kejadian bisa diekspos media massa.



[1][1] Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 158

[2] Ibid

[3] Ibid, h. 161

[4] Dikutip dari artikelnya Nuruddin pada blogger PBHMI.org tertanggal, 12 November 2009. Nuruddin adalah Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), beliau juga seorang mantan aktivis HMI cabang Surakarta. Buku yang pernah ditulisnya salah satunya adalah buku Jurnalisme Masa Kini,

[5] Ibid

[6] Soemarno AP, Komunikasi Politik, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 7.28

[7] Ibid, h. 7.29-7.36

[8] Ibid, h. 7.30-7.31

[9] Ibid, h. 7.31-7.32

[10] Gun Gun Heryanto –Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta- menulis artikelnya di koran Republika dengan judul “Moratorium Konflik Elite” pada tanggal 21 Desember 2009.

[11] Ibid

[12] Ibid

Tidak ada komentar: