Kamis, 20 Januari 2011

Spin Doctor Team Sukses Sby Budiono Dalam Membentuk Citra Kandidatnya Sehingga Menang Dalam PILPRES 2009

Kampanye politik tidak ada bedanya dengan sebuah adegan drama yang dipentaskan oleh para aktor-aktor politik, tulis Richard A. Joslyn (dalam David L. Swanson dan Nimmo, (ed.), New Directions in Political Communication: A Resource Book, 1990). Bagaimana jika pernyataan Joslyn itu disandingkan dengan beberapa pernyataan tokoh politik di dalam kampanye partai-partai politik di Indonesia baru-baru ini?

Kampanye Partai Demokrat di Gelora Bung Karno dengan juru kampanye (jurkam) Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sejumlah capaian pemerintahan yang dipimpinnya. Ia menyampaikan bahwa keamanan dan stabilitas di seluruh Indonesia terus membaik. SBY juga menyampaikan empat kesuksesan lain pemerintahannya dalam bidang penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, majunya perekonomian, perbaikan kesejahteraan rakyat dan dihargainya Indonesia di dunia Internasional. Pernyataan Joslyn di atas sangatlah tepat. Kampanye politik adalah suatu peristiwa yang didramatisasi. Pernyataan yang disampaikan SBY merupakan dramatisasi peristiwa agar menarik perhatian audiens sebagai calon pemilih (konstituen).

Kampanye politik merupakan suatu usaha yang dikelola oleh suatu kelompok (agen perubahan) yang bertujuan untuk membujuk target sasaran agar dapat menerima, memodifikasi, atau membuang ide, sikap dan prilaku tertentu. Kampanye politik ibarat make up seorang tata rias wajah. Sang perempuan akan menjadi lebih menarik setelah sentuhan-sentuhan make up memoles wajahnya. Penampilan menarik sang perempuan merupakan keberhasilan penata rias. Demikian pula dengan para tokoh dan partai politik. Mereka akan menjadi lebih menarik ketika kampanye dikemas dengan baik. Namun kemudian timbul sebuah pertanyaan, siapakah ”penata rias” kampanye partai politik dan tokoh tersebut? Dalam praktiknya, tidak sedikit kampanye politik yang dilakukan menemui kegagalan. Akan tetapi banyak juga yang mengalami keberhasilan, karena dirancang dengan baik oleh seorang ahli yang berperan sebagai spin doctor.

Pada mulanya, istilah spin doctor lebih dikenal dalam dunia kampanye politik sebagai konsultan public relations politik. Konsultan ini bertugas membangun image (citra) politik bagi kliennya (biasanya seorang politisi tertentu). Sedangkan tugas yang lainnya adalah memberikan kesan negatif pada saingan politik kleinnya. (Handayani, 2005). Profesi konsultan public relations politik atau biasa disebut juga press agent atau publicist awalnya dikembangkan oleh sepasang suami-istri Cleam Whitaker dan Leon Baxier di Los Angeles AS pada tahun 1933 dengan nama Campaign Inc.

Istilah PR konsultan politik ini digunakan sampai tahun 1984, setelah tim kampanye Ronald Reagan menggantikannya dengan istilah spin doctor. McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication (2003) mendefinisikan spin doctor sebagai individu yang memiliki kemampuan menguasai publik, menggerakkan massa dan menguasai media, sekaligus sebagai konseptor politik yang bertujuan memengaruhi. Spin doctor berada pada posisi tengah antara politisi yang akan dipromosikan (dipasarkan) olehnya dengan para jurnalis media yang akan mempromosikannya.[1] Dengan demikian, banyak pihak yang menilai bahwa profesi spin doctor yang biasa digunakan oleh para politisi merupakan suatu keahlian di bidang komunikasi yang menggabungkan prinsip-prinsip public relation (kehumasan), advertising (periklanan), dan marketing (pemasaran) (Changara, 2009).[2]

Spin doctor bertanggung jawab atas pengendalian isu media, mana angle berita yang menarik, gambar yang menarik, mengamati isu dari pesaing, dan menjalin hubungan erat dengan newsroom dalam pemunculan berita. Spin Doctor itu merupakan salah satu keahlian dalam Public Relations untuk menguatkan pesan yang akan disampaikan. Sepertinya pola angin yang memutar, Spin juga demikian. Pesan diputar sedemikian rupa hingga mampu menembus sasaran. Biasanya jadi tidak terbantahkan, dan dilakukan secara elegan. Dan satu hal yang paling penting, Spin bukan berbohong apalagi memutarbalikkan fakta. Hanya saja, tidak semuanya setuju dengan pola ini. Banyak yang mengkonotasikan dengan pemutar balikan fakta. Dan memang pada kenyataannya, banyak PR yang memutarbalikkan fakta, dan menyebut taktiknya sebagai spin doctor. Bahkan dengan bangga menyatakan dirinya sebagai spin doctor.Selain itu, aplikasi Spinning juga belum tentu dalam bentuk kalimat belaka.

Studi kasus Clinton-Monica Lewinsky merupakan salah satu kisah sukses. Melalui pidato impeachment, Clinton bisa mengalihkan “kesalahan” slingkuhnya dari kesalahan presiden, menjadi kesalahan seorang kepala keluarga biasa.Salah seorang spin doctor terkenal dalam pemerintahan Reagan adalah Michael Deaver. Peristiwa tertembaknya Reagan 1981 merupakan awal pembuktian Deaver sebagai spin doctor cerdas. Di tengah suasana ketidakpastian, Deaver mengundang para wartawan dan juru kamera untuk menjenguk sang presiden. Deaver ingin memberikan sinyal kepada dunia bahwa Reagan akan segera membaik, dan tugas kenegaraannya masih sanggup dilaksanakan. Melalui sorot kamera televisi, Reagan tampak tengah menandatangani beberapa rekening dan surat-surat penting lainnya. Deaver ingin menampilkan Reagan saat itu beraksi lebih bersinar dari aktor-aktor Holywood di televisi. Di sini Deaver mencoba mengubah opini masyarakat sekalipun mungkin dengan cara pseudo event (peristiwa yang pura-pura terjadi).[3]

Di Indonesia sendiri spin doctor lebih banyak dikenal dengan istilah manajer kampanye, lembaga pemenangan pemilu atau konsultan politik. Lembaga-lembaga ini biasanya bertugas menentukan pengarahan opini publik dalam pencitraan kandidat. Lembaga ini menggunakan semua jalur komunikasi untuk membangun citra politikkliennya dengan membentuk dan mengarahkan opini guna memengaruhi publik dan memenangkan pemilihan. Dengan menggunakan media komunikasi dalam pembentukan opini publik tersebut, spin doctor sesungguhnya tengah merekayasa cara-cara pemaksaan dalam kampanye menjadi sebuah bujukan (Etman dalam Louw, 2005).

Peranan Spin doctor tidak hanya berdiri antara parpol dengan media, tetapi memiliki peran yang sangat penting dan menentukan dalam kancah pertarungan kekuasaan politik. Pada pemilu 2009 lalu, partai politik dan para politisi disuguhkan oleh banyak pilihan lembaga-lembaga konsultan politik. Sebutlah Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, P2P LIPI, dan Reform Institute adalah beberapa contoh dari sekian banyak lembaga konsultan politik yang bermunculan di Indonesia. Seperti yang dilakukan pada tim pemenangan SBY-Budiono dengan Mallarangeng bersaudara melalui senjata Fox Indonesianya. Hasil di pemilu legislatif dan presiden 2009 ini menjadi bukti

DAFTAR PUSTAKA

Changara, Havied, “Komunikasi Politik, Konsep, Teori, Strategi”, PT. Rajawali Press : Jakarta 2009

Yandi Hermawandi, Kampanye dan Konsultasi Politik. Detik News, Selasa, 31/03/2009 10:38 WIB



[1] Yandi Hermawandi, Kampanye dan Konsultasi Politik. Detik News, Selasa, 31/03/2009 10:38 WIB

[2] Changara, Havied, “Komunikasi Politik, Konsep, Teori, Strategi”, PT. Rajawali Press : Jakarta 2009, h. 155

[3] http://padmanegara.wordpress.com/2010/07/10/spin-doctor-di-perhumas

Tidak ada komentar: